Jayapura, nirmeke.com – Atas nama pembangunan ekonomi Indonesia, inilah proses yang mengancam peradaban masyarakat adat pribumi, mulai dari kepentingan investasi jangka panjang pembangunan dalam setiap jenjang pembangunan yang terjadi di Indonesia baik Orde Lama, Orde Baru hingga Reformasi. Orde Lama (1945-1965), adalah masa dimana Indonesia berusaha menasionalisasi dan menutup diri dengan investasi dan bantuan asing, inilah masa Indonesia di Intervensi dengan pihak asing hingga rezim ini jatuh pada tahun 1965.
Hal tersebut disampaikan Samuel Womsiwor ketua Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua) Kota Jayapura melalui pers releasenya dalam memperingati hari Masyarakat Adat Internasional tanggal 9 Agustus 2019 di Jayapura, beberapa waktu lalu. Selasa, (13/8/2019).
Ia menambahkan dengan melihat dinamika yang mengancam peradaban manusia dan alam Papua, kami Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua (GempaR-Papua), menyatakan sikap bahwa kami menolak kejahatan Freeport sejak 1967, yang telah mengeruk kekayaan dan melakukan Pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) kepada masyarakat adat Kamoro dan Amungme.
“Kami juga menolak Mega proyek pangan nasional Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) yang beroperasi di Wiayah Merauke, kami menolak milterisasi dalam rangka upaya penyebarluasan investasi di seluruh tanah Papua didukung Presiden Joko Widodo, kami mendesak Negara Indonesia untuk membuka status Hak Guna Usaha (HGU) semua investasi kepada masyarakat.”
Lanjutnya kami meminta Negara Indonesia segera menarik semua militer non organik yang beroperasi di Nduga karena telah melakukan pelanggaran HAM kepada masyarakat Adat Papua di Nduga, serta mendesak Negara Indonesia untuk membuka akses jurnalis dan pekerja kemanusiaan lokal, nasional, internasional di Nduga dan seluruh tanah Papua.
“Kami meminta Pacific Island Forum (PIF) untuk lebih serius dalam mendorong Tim Pencari fakta untuk masuk ke Papua dan melihat situasi Hak Asasi Manusia (HAM) masyarakat Adat Papua, kami juga menolak kebijakan Negara Indonesia dalam percepatan perluasan lahan Perkebunan sawit yang mencaplok wilayah masyarakat Adat Papua.
GempaR Papua juga menolak kebijakan Negara Indonesia melalui Perhutanan Sosial dan TORA di wilayah Adat yang melecehkan konstitusi dan masyarakat Adat. Dan kami mendesak Presiden Negara Indonesia untuk mencabut Prepres 40 tahun 2013 tentang keterlibatan militer dalam proyek pembangunan trans Papua.
Selain itu Deselinus Sani mewakili mahasiswa Papua di kota Jayapura menolak rencana Negara Indonesia untuk pembangunan 31 KODIM di wilayah Timur Indonesia, termasuk Tanah Papua, serta Pembentukan KOOPSUS (Komando Operasi Khusus), karena akan menambah deretan kasus pelanggaran HAM terkhusus Masyarakat Adat Papua.
“sikap kami, Gerakan Mahasiswa Pemuda dan Rakyat Papua(GempaR-Papua), atas nama keadilan dan perdamaian rakyat, kami menyampaikan seruan perlawanan kepada seluruh rakyat Pemilik Tanah Papua, untuk bertahan dan bangkit melawan segala bentuk penindasan atas nama Pembangunan dan kepentingan Ekonomi Negara Indonesia,” katanya. (*)
Editor : Admin