Oleh: Mr. Nomen
“Kata orang hari ini, Papua itu keras, tapi bagi saya, orang Papua itu lemah. Lemah dalam aksi nyatakan Jati diri sebagai orang asli Papua”
Ketika anak muda Papua juara IPK di Amerika dengan setingkat 4.00, mengalahkan mahasiswa asal Amerika dan China, media ramai mengangkat tinggi dedikasinya. Kritik saya,kebanggaan itu sifatnya relatif tapi kerja nyata itulah hakikat pendidikan yang akan dikenang masyarakat yang perlu disentuh dengan hati namun bukan dengan uang.
Hari ini Papua membutuhkan seorang pemimpin yang bekerja demi rakyat bukan demi uang, tapi berpikir mimpi kedepan tentang prestasi gemilang anak-anak Papua diluar sana itu, saya ikut bangga dan mengapresiasinya, semoga besok adalah hari yang terbaik seperti moto orang Paniai ”Awetako Enaa Agapida.”
Kehidupan masyarakat kita telah berubah tapi pemimpin kita belum berubah adalah hal yang berbahaya. Pola pikir pemimpin daerah lebih kepada politik praktis, setiap kebijakan seperti aman dan mengamankan mimpi-mimpi tertentu, makanya hal itu presentasi saya akan berdampak pada kemajuan masyarakat komunal di daerah dalam persahabatan, kekeluargaan dll.
Pemimpin harus berubah jalan pikirannya, apapun kondisi yang tercipta, pemimpin harus melihat dari jejak masyarakat tradisional yang ada didaerah. Kepentingan lain tunggu dulu, karena Otsus yang diberikan oleh Jakarta untuk diperlakukan adil untuk kepentingan masyarakat daerah. Apapun kebijakan daerah harus lebih menguntungkan masyarakat daerah.
Masyarakat semakin berubah karena pemain politik didaerah berperang lebih banyak dengan uang, seharusnya politik harus berargumen karena politik adalah permainan kata. Mainseat politik masyarakat kita sudah terbentur dengan uang yang kotor sehingga kapanpun, dimanapun, oleh siapapun, ricuh antara masyarakat akan ada terus. Jakarta punya cacatan tentang perkembangan politik didaerah.
Jakarta bisa pasang api didaerah, dan Jakarta bisa memadamnya. Dalam teori itu ada konflik yang disengaja demi kepentingan negara. Konflik akan lahir setelah Negara menyiapkan solusi. Intelejen punya data komplit tentang hidup manusia Papua dari indikator suku-suku.
Sejak Papua berintegrasi kedalaman bingkai Indonesia pada tahun 1969, mungkin orang Papua sudah sejahterah sejak itu bersama Indonesia. Itu artinya, dari dulu hingga hari ini, orang Papua tidak butuh uang. Orang Papua butuh seorang pemimpin yang melayani dengan hati bukan uang.
Hari ini kita mesti melihat perkembangan orang asli Papua. Hampir 100% usaha micro maupun macro di kuasai oleh non Papua. Darimana kita mengambil indikatornya kalau orang Papua lebih sejahtera karena uang. Uang Otsus dan uang saham Freeport tidak pernah menjadikan orang Papua hidup lebih baik malahan kehadiran Freeport dan Otsus setengah hati menambahkan masalah diatas masalah.
Semestinya pemimpin Papua yang hadir dengan bermodal politik praktis disetiap daerah meski sadar. Jika tidak, kapan pun uang akan menjadi tameng dalam karung. Uang akan tinggal kenangan bersama rakyat yang merindukan kesejahteraan hidup. Pemimpin daerah yang silih berganti-ganti tidak akan pernah memimpin rakyatnya dengan tulus hati yang paling dalam. Sekali lagi, Papua hari ini butuh pemimpin yang bermodal hati yang besar, bukan bermodal uang yang besar.(*)