Jayapura, nirmeke.com – Tempat lantai beralas tanah, tanpa pagar hanya di kelilinggi seng-seng bekas untuk menutupi tempat kerjanya bersama beberapa karyawan putra daerah asli Papua.
Sembilan tahun bukan waktu yang muda bagi Max Kabes untuk menjalankan usaha otomotif perbengkelan yang ia buka di jalan SPG Taruna Bakti Waena.
Berbekal ilmu dan pengalaman yang ia peroleh selama di Sekolah Teknik Mesin (STM) Negeri Kotaraja Luar.
Bengkel otomotif yang di buka Max Kabes, panggilan akrabnya tersebut mengatakan sudah berdiri 9 tahun lebih sejak tahun 2008 dengan nama bengkel mobil Rehobot.
“untuk karyawan sendiri lebih banyak saya ambil anak-anak asli Papua karena saya lebih condong untuk kita mentransfer ilmu ke mereka agar kita juga memberdayakan orang Papua supaya terus ada kelanjutan dalam bidang otomotif,” kata Max yang juga mewarisi profesi orang tuanya yang juga mekanic didikan Belanda.
Di bengkel otomotif miliknya, Max mempekerjakan semua karyawannya anak-anak asli Papua. Di bagian bongkar mesin dua anak dari Merauke, satu Evi Kogoya dari pegunungan di tambah untuk bagian painting (duko) atau cat bodi dari non Papua karena tidak semua anak-anak Papua bisa ahli di bidang ini, ada juga namun masih tahap proses belajar di kami.
“kita perlu orang yang profesional karena itu yang kami jual. Bengkel mobil Rehobot melayani perbaikan mesin dari dua tipe mesin yaitu mobil bensin dan diesel, untuk semua jenis mobil ditambah pengecatan (cat duko),” katanya.
Max juga membutuhkan perlengkapan yang lengkap dan lebih bagus untuk menunjang usaha ini karena selama ini kita kalah bersaing karena kita tidak punya alat yang modern seperti diaknosis karena alat tersebut akan memudahkan kita untuk mendeteksi (mendiaknosis) kerusakan pada trabel mesin mobil.
“mobil-mobil sekarang sistemnya sudah Electronic Control Unit (ECU) pakai komputer berbeda dengan mesin-mesin dulu karena manual saja jadi kerja tutup mata saja barang jadi tapi sekarang tanpa barang itu (diaknosis) sudah untuk mendeteksi kerusakan pada mobil, raba-raba bikin kepala sakit,” kata Max.
Max menjelaskan di bidang otomotif orang Papua yang bergelut di bidang ini sangat minim, meski ada banyak anak-anak Papua yang menekuni bidang otomotif namun kurang serius untuk mengembangkan keahliannya untuk menjadikan satu usaha perbengkelan.
“nyali untuk buka bengkel itu yang kurang untuk anak-anak Papua, meski skil dan kemampuan mereka (anak-anak Papua) punya dengan demikian kita bisa bersaing dengan non Papua yang punya perbengkelan, kita tunjukan bahwa kita juga bisa,” katanya.
Max selalu yakin dengan usaha apa saja yang orang Papua lakukan dengan hikmat dan marifat yang di berikan Tuhan selalu yakin ketika kita bangkit untuk mandiri pasti kedepan akan lebih bagus terutama kualitas.
Ketika kita punya kemauan untuk menekuni, mencintai kita punya usaha itu akan berjalan baik tergantung keseriusan kita untuk jalankan usaha tersebut. Terutama kata Max, konsep cara berpikir orang Papua harus lebih luas dalam artian kita jangan terus mencari kerja ke PNS tapi bagaimana kita menekuni bidang lain yaitu wirausaha.
Dalam menjalankan usaha perbengkelannya Max mengaku banyak menghadapi kendala terutama soal finansial modal berupa dana karena orang Papua dimata bank itu tidak dipercaya lagi (pamor hilang).
“kita tidak begitu di perhatikan, ketika kita berikan penawaran ke bank mereka masih pikir-pikir untuk berikan modal ke kita. Sa mau itu kalau boleh kita yang bantu kita sesama orang asli Papua terutama pemerintah maupun KAP Papua hadir dan melihat usaha seperti kami ini,” katanya.
Pemerintah punya tanggung jawab untuk memberikan modal ke kita dalam bentuk apa saja baik dana hibah maupun bergulir langsung dari pemerintah karena orang Papua ini kebanyakan manajemennya masih kurang begitu bagus (kacau balau) sehingga di bidang ini perlu belajar menata menejemen agar ada kepercayaan dari pemerintah dalam memberikan modal usaha.
“kalau ada modal saya bisa bikin bengkel otomotif yang besar (permanen) seperti milik non Papua tidak seperti sekarang yang hanya beralas tanah ini, bisa dikatakan bengkel separuh tradisonal. Orang bank lebih percaya non Papua sehingga dalam usaha seperti ini mereka yang lebih maju di banding kita sehingga pemerintah dan KAP Papua harus bantu kami,” katanya Max.
Max Juga berharap wirausaha seperti ini menjadi contoh untuk anak-anak Papua terutama adik-adik siswa jurusan SMK agar mereka bisa menekuni bidang otomotif sehingga bisa bersaing dengan non Papua secara sehat dengan membuat bengkel mobil dan motor yang lebih bagus di dukung modal oleh pemerintah.
“kita tunjukan bahwa kitong orang Papua juga bisa tampil, kita juga patut diperhitungkan juga oleh orang lain yang ada di luar Papua. Untuk bisa bangkit kita punya komitmen yang bagus, dengan menjaga kepercayaan melalui modal yang di berikan,” katanya.
Max juga ingin usaha-usaha yang di jalankan anak-anak Papua tidak hanya terkesan biasa-biasa saja dan tradisional namun harus berkembang pesat dengan kebutuhan perlengkapan yang modern seperti diler mobil seperti itu. (*)
Laporan : Agus Pabika