Jayapura, nirmeke.com – Satu lagi pemuda Watege (Deiyai) tewas tertembak peluruh polisi dibagian kepala belakang menembus mata, ialah Yulius Mote (18) seorang pelajar yang menjadi korban kali ini, sedangkan Elianus Dogopia ditembak dibagian Paha.
Seakan mereka hanya ditentukan hidup sebatas usia remaja, aparat pun menjadi malaikat maut yang terus merampas nyawa mereka.
Peristiwa penembakan dua warga Watege Yulius Mote dan Elianus Dogopia pada 21 Mei kemarin kembali menambah daftar panjang tindakan brutal aparat Indonesia di Papua, yang lebih khusus juga merupakan ancaman serius terhadap keberlangsungan hidup generasi muda Papua di daerah dataran tinggi Meepago, sekaligus terus menghadirkan kesedihan silih berganti bagi rakyat Papua, setelah kasus-kasus anak-anak muda Papua ditembak mati aparat pada tahun-tahun sebelumnya seperti Kasus Paniai berdarah (Paniai, 2014), Penembakan Yoseni Agapa dan 5 orang remaja lainnya (Dogia, 2015), Penembakan Owen Pikei (Nabire, 2016), penembakan Otinus Sendegau (Intan Jaya, 2016), dan penembakan warga Oneibo (Deyai, 2017), yang tidak kunjung tuntas diselesaikan. Duka panjang ini terus diderita bagaikan kutukan bagi rakyat Papua.
*Kronologi Kejadian*
Seperti kronologi yang dijelaskan oleh Pastor Santo Takege Pr petugas gereja setempat melalui media online Tabloid Jubi dan Koran Cendrawadih Pos, bahwa peristiwa penembakan ini bermula dari penghadangan taxi oleh empat warga Watege (Deiyai) yang mabuk, pada sore hari (sebelum pukul 16.00), dengan maksud meminta uang sepuluh ribu rupiah pada sopir taxi, kemudian terjadi pertengkaran antara empat orang tersebut dengan sopir, lalu sopir dimaksud mengejar keempat orang itu dengan parang sehingga mereka lari, selang beberapa menit kemudian datanglah keempat orang dimaksud kembali bersama beberapa orang lainnya, mereka pun merusak kaca mobil yang sebelumnya dihadang itu, sopir dimaksud melarikan diri ke Polsek Tigi sekalian melaporkan kejadian, pada (16.00) polisi tiba di Tempat Kejadian Perkara (TKP) Polisi langsung melepaskan tembakan, tembakan polisi itu mengenai Elianus Dogopia di Bagian Paha, melihat Elianus Dogopia ditembak, pukul 18.30 warga Watege mengamuk dan membakar Polsek Tigi dan beberapa bagunan lain disekitar, repon atas amukan warga ini pada pukul 21.00 polisi mengejar warga sambil melepas tembakan serta polisi melakukan penyisiran dan menembak gas air mata di perempatan jalan Watege, pada pukul 22.00 aparat menembak Yulius Mote di Kampung Idege Waghete, tembakan polisi ini mengenai Julius Mote dibagian kepala belakang tembus mata, akibatnya seketika itu Julius Mote jatuh dan langsung meninggal.
Kronologi berbeda disampaikan oleh Polda Papua yang mengakui adanya penembakan satu orang warga oleh polisi dibagian paha dan adanya pembakaran Polsek Tigi oleh warga Watege, serta membantah tewasnya seorang warga akibat penembakan polisi dalam peristiwa Watege kemarin seperti yang disampaikan oleh Pastor Santo Pr.
Namun informasi lain yang terpercaya dari warga lewat sosial media tentang peristiwa Watege kemarin (21) menerangkan bahwa dalam peristiwa ini selain seorang warga atas nama Elianus Dogopia yang ditembak dibagian paha, polisi juga setelah menembak tewas satu orang atas nama Yulius Mote. Informasi ini dikuatkan dengan foto-foto korban tewas disertai peluruh yang digunakan polisi.
*Tindakan Hukum Yang Berlebihan*
Bahwa dari kronologi kedua pihak di atas walaupun berbeda secara alur peristiwa dan tindakan namun keduanya bersamaan telah membenarkan adanya penembakan oleh polisi terhadap warga dan adanya amukan warga yang membakar Polsek Tigi. Ini menunjukan bahwa adanya persoalan antara kepolisian dengan masyarakat Watege, Ini menunjukan bahwa polisi masih terus mengunakan senjata dalam menyelesaikan perkara di Papua, yang melahirkan ketidak percayaan warga Papua terhadap Polisi.
Sikap ketidak percayaan warga dan tindakan menembak yang dilakukan oleh polisi ini merupakan gambaran umum buruknya penegakan hukum di Papua dan rusaknya relasi antar masyarakat dan aparat secara umum yang terjadi di Papua dan lebih khususnya di wilayah Meepago yang dibentuk dari praktek-praktek kekerasan terhadap warga yang selama ini terjadi. Perilaku aparat ini menunjukan model pendekatan Hard Power (Kekuatan Keras) yaitu pendekatan dengan kekuatan yang keras dalam menjaga keamanan di Papua. Bentuk pendekatan ini dalam pengalamannya di Papua tidak menciptakan keamanan dan kedamaian bagi masyarakat, sebaliknya praktek pendekatan kekerasan ini turut menciptakan ketidak adilan hukum dan sosial di Papua, pendekatan kekerasan ini juga menciptakan tingginya kekerasan dan pelanggaran HAM di Papua. Berbagai laporan pelanggaran HAM di Papua telah mendokumentasikan berbagai kekerasan ini dan telah merekomendasikan kepada polisi agar merubah pendekatan peyelesaian masalah dalam penegakan hukum sehingga tidak terjadi lagi pelanggaran HAM dan adanya keadilan dan kedamaian bagi rakyat Papua.
Tindakan keras polisi yang telah menembak warga sehingga menimbulkan amukan warga ini merupakan suatu tindakan yang sangat tidak terpuji dan merupakan bentuk ketidaktaatan Polisi terhadap perlindungan HAM yang dijamin dalam peraturan kapolri nomor 8 tahun 2009 tentang implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar HAM dalam Tugas-tugas Kepolisian junto UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM yang berlaku di Indonesia dan dunia, padahal Indonesia juga telah menjamin perlindungan HAM bagi semua warga negara termasuk warga Watege, dan polisi merupakan bagian dari unsur negara yg diwajibkan turut telibat menjalankan kewajiban negara untuk menghormati, melindungi dan memenuhi HAM.
Atas peristiwa penembakan terhadap dua warga sipil di wagete di atas kami menyimpulkan bahwa pihak Kepolisian Sektor Tigi telah melakukan beberapa pelanggaran hukum, seperti : Pelanggaran Kode Etik Kepolisian, Tindak Pidana Pembunuhan Berencana, Tindakan Penyalagunaan Senjata Api dan Tindakan Pelanggaran HAM. Agar lebih jelasnya akan disebutkan beberapa pelanggaran hukum yang dilakukan, sebagai berikut :
1. Pelanggaran kode etik, sebagaimana diatur pada Pasal 6 huruf (q), PP Nomor 2 Tahun 2003 tentang disiplin kepolisian republik Indonesia
2. Pelanggaran HAM dalam menjalankan tugas-tugas kepolisian sebagaimana diatur dalam Perkap No 08 Tahun 2009 Tentang Implementasi Prinsip-Prinsip dan Standar HAM dalam menjalankan Tugas Kepolisian;
3. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP;
4. Tindakan penyalagunaan senjata api sebagaimana diatur pada Pasal 2, UU Darurat Nomor 12 Tahun 1951;
5. Tindakan Pelanggaran HAM khususnya “Pelanggaran Hak Hidup” sebagaimana diatur pada pasal 4, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia;
Atas tindakan penembakan polisi di Watege maka, kami Perkumpulan Advokat HAM untuk Papua (PAHAM Papua) dan Lembaga Bantun Hukum (LBH) Papua menyataan :
1. Berduka atas tewasnya Alm Yulius Mote
2. Mengutuk tidakan penembakan yang dilakukan oleh oknum anggota Kepolisian Sektor Tigi;
3. Mendesak Kapolri Cq Kapolda Papua untuk menagkap dan mengadili oknum anggota kepolisian sektor Tigi yang telah melakukan :
a. Pelanggaran Kode Etik Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2003
b. Pelanggaran HAM dalam tugas-tugas kepolisian sebagaimana diatur pada Perkap Nomor 8 Tahun 2009
c. Tindak Pidana Pembunuhan Berencana sebagaimana diatur pada Pasal 340 KUHP
d. Tindak Pidana Penyalagunaan Senjata Api sebagaimana diatur dalam UU Nomor 12 Tahun 1951
4. Mendesak Komnas HAM RI melakukan investigasi mengungkit peristiwa dugaan pelanggaran hak hidup kepada publik dan memproses pelaku secara adil sesuai perbuatannya;
5. Mendesak Kapolda Papua menarik Satuan Brimob dari Diyai;
6. Menyerukan komunias masyarakat dunia (Individu, Kelompok-kelompok HAM, dan Negara) untuk turut memantau situasi HAM di Papua dan mengambil langka-langka kongrit penyelesaian HAM di Papua.
Nara Hubung :
1. Yohanis Mambrasar, SH (PAHAM Papua), No 0812216118710;
2. Emanuel Gobay, SH.MH., (LBH Papua), No 082199507613