Wamena, nirmeke.com – Kebanyakan orang mungkin mengira, seniman pahat atau pematung di Papua hanya ada di sekitar wilayah pesisir atau pun di Asmat yang karya ukirnya sangat terkenal.
Namun, di Pegunungan Tengah Papua tepatnya di Kabupaten Jayawijaya, ada sesosok Nikolaus Haluk yang merupakan seniman pahat dan telah menghasilkan karya yang luar biasa dan telah tembus pasar nasional.
Ya, mungkin banyak orang yang belum mengenal siapa sosok Nikolaus Haluk yang bisa dibilang sebagai pematung pertama di wilayah Pegunungan Papua.
Namun ketika saya tiba di sanggar miliknya, Sabtu (9/3/2019) siang di kampung Siepkosi. Distrik ini kurang lebih berjarak 10 km dari Wamena. Sosok Nikolaus sangat bersahaja dan ramah menyambut saya bersama teman-teman jurnalis lainnya.
Setiba di sanggar miliknya yang berukuran sekitar 6×7 meter persegi itu, Niko,begitu sapaan akrabnya, langsung menunjukkan karya patung yang masih ia kerjakan.
Di sanggarnya yang sederhana itu, semangat pak Niko terus terpompa untuk memahat. Hasilnya tidak kalah saing dengan ukiran di Asmat maupun daerah lainya serta kental akan budaya lokal Wamena.
Dia mengaku mempelajari seni pahat ini sejak 1981, berawal dari rasa kegundahannya akibat tidak dapat melanjutkan pendidikan, sehingga ia pun diangkat menjadi tenaga pengajar pembantu misionaris Katolik atau Katekis.
Apalagi Niko melihat teman dekatnya dapat melanjutkan pendidikan dan mendapat gelar, sementara dia tidak bisa lanjutkan pendidikan. Akhirnya dia memutuskan menjadi Wene Wolok (pewarta gereja) di salah gereja Katolik di Siepkosi.
“Saya akhirnya diberhentikan sebagai tenaga honorer dari Keuskupan Jayapura, lalu saya sempat berpikir bagaimana caranya bisa menghidupi keluarga. Di suatu saat, saya sempat melihat suatu batang pohon yang kayunya berbentuk wujud manusia, lalu saya ambil pisau baru korek-korek sedikit sehingga berubah menjadi bentuk patung,” kata pria kelahiran 9 September 1959 itu.
Sejak saat itu, ia terus menggali bakatnya itu dengan hanya menggunakan parang dan pisau. Tanpa alat pahat memadai. Karya pertamanya dihasilkan pada 1992.
“Karya patung pertama saya ini kecil saja berukuran 50 cm, dan saya berikan kepada Bupati Jayawijaya saat itu, JB Wenas. Bupati pun memberikan penghargaan Rp.600 ribu, dan langsung dijadikan binaan pemerintah daerah Jayawijaya,” katanya.
Dari kecil kini menjadi besar. Ketekunan yang dilakukan itu, kini ia dapat membuat patung sehari dua karya dengan patung berukur 60 cm. Jenis kayu yang dipilihnya pun menggunakan kayu yang biasa dibuat perahu atau ukulele.
Ia pun pernah membuat patung setinggi orang dewasa dan menara pengintai. Bahkan, di 1997 saat Presiden Soeharto saat itu kegiatan di Buper Waena, Jayapura, ia diundang untuk memamerkan hasil karyanya itu.
Dan akhirnya, undangan itu pun membuahkan hasil dimana presiden Soeharto memerintahkan Bupati Jayawijaya untuk membawanya ke Subang, Jawa Barat untuk mendalami seni pahatnya.
“Karya yang saya buat selalu identik dengan budaya di Jayawijaya, tidak pernah membuat karya dari budaya daerah lain, karena itu sama sama seperti ‘memperkosa’ budaya daerah itu,” kata bapak empat orang anak ini.
Pasar bagi hasil karyanya itu, pertama dilakukan dengan rutin mengikuti kegiatan Expo di Waena sejak 1992-1997 di anjungan Jayawijaya.
Kini karyanya juga bisa dijumpai di Yayasan Oikonomos Wamena, dimana dari hasil karyanya itu ia bisa menghasilkan uang mulai dari ratusan ribu hingga puluhan juta rupiah.
“Saya pernah membuat patung Mumi yang sempat juga dipamerkan di Jayapura, dan ada orang yang beli patung Mumi itu dengan harga Rp50 juta,” katanya.
Tak lupa ia pun memperlihatkan berbagai kegiatan pamerannya dalam skala nasional dalam satu album foto, bahkan ada sebuah foto ia tunjukan dimana ia membuat suatu karya patung yang bercerita.
“Ini karya yang saya buat dalam satu batang pohon dibuat patung, namun bercerita salah satunya tentang suasana perang masyarakat pegunungan lengkap dengan menara pengintainya,” katanya.
Meski keempat anaknya semuanya mengikuti jejak sang ayah mahir dalam mengukir patung, tetapi khusus bagi anak sulung (tertuanya) hingga kini masih mencari pekerjaan setelah selesai kuliah, dan anak kedua dan ketiganya sempat putus sekolah, dan yang paling bunggu masih duduk di SMP.
“Saya bersyukur hingga kini perhatian pemerintah masih ada, di bawah binaan dinas pariwisata dan kebudayaan serta dinas tenaga kerja, perindustrian dan perdagangan Jayawijaya, dengan mempromosikan karya saya,” katanya.
Cucu Nikolaus Haluk, Siska Isaba yang dijumpai di sanggar itu menceritakan jika karya yang dihasilkan Tetenya (kakek) itu ia pun ikut membantu menjualnya di Yayasan Oikonomos.
“Di mata keluarga, Tete ini orangnya baik dan perhatian. Meski saya tidak pernah belajar memahat seperti kakek, tetapi orang tua saya bisa,” ujar Siska yang hari-harinya menemani sang kakek.
Dalam kesempatan itu juga, kebetulan Titus Meaga selaku kepala bidang kebudayaan pada Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Jayawijaya sedang mengunjungi rumah/sanggar Niko Haluk.
“Seniman untuk ukir-ukiran memang hanya di bagian wilayah Siepkosi saja, yang menjadi pelopor seniman pahat ini memang beliau perintisnya,” kata Titus Meaga.
Ia mengklaim, sejauh ini pemerintah terus memberikan bantuan pembinaan kepada seniman pahat yang ada di Jayawijaya, dimana hingga kini terdapat tiga orang seniman pahat di Jayawijaya. (*)
Sumber: Jubi.co.id