Honay adalah rumah tradisional laki-laki dewasa Papua wilayah Pegunungan Tengah (Wamena dan sekitarnya). Di dalam Honai ini, semua tentang hidup baik dibicarakan selain digunakan untuk sebagai tempat istirahat. Pembahasannya mengenai eksistensi keluarganya, klennya, sukunya maupun tempat terjadi transfer knowledge dari tetua kepada generasi muda. Selain dua fungsi diatas, tentu masih banyak kegunaan lainnya.
Sedangkan Dialog adalah salah satu alat (tool/instrument) yang digunakan untuk melarai perselisihan antar dua atau lebih kelompok. Dialog tentu memiliki banyak metode tergantung konteks persoalan dan posisi mediator dan fasilitator. Salah satu contoh yang patut dicatat adalah “Dialog Helsinki” 2006 antara Pemerintah Indonesia dan kelompok gerakan perlawanan Aceh (GAM). Output dari dialog ini, memungkinkan terjadi gencatan senjata oleh GAM, pemberian Otonomi Khusus yang seluasnya bagi provinsi Aceh, pendirian partai lokal dan lainnya.
Kata bagian akhir dari judul diatas adalah Papua. Papua adalah daerah potensial konflik semenjak 1963. Daerah ini tidak pernah lepas dari konflik, baik antar sesama orang Papua, Papua dan pendatang, Papua dan militer (representasi penguasa). Bagian ketiga adalah konflik yang tersistematis dan masif hampir selama 56 tahun. Akibat dari situasi ini, ratusan ribu nyawa orang Papua dikorbankan baik dengan moncong senjata maupun dengan program terselubung lainnya. Tidak hanya nyawa manusia tetapi harta benda pun dijerah, baik dengan paksa maupun dengan pelepasan secara paksa.
Alm. Dr. Muridan Satrio Widjojo, MS, cs, dalam buku “Papua Road Map”, 2009 dan alm. Pater Dr. Neles Kebadabi Tebay, Pr, dalam buku “Dialog Papua – Jakarta, sebuah perspektif Papua, 2010 sama-sama menawarkan sebuah konsep “Dialog”. Dialog adalah salah satu solusi untuk menyelesaikan persoalan Papua disamping cara lainnya. Dengan mengambil contoh Dialog Helsinki, kedua tokoh Specialis Papua ini semakin yakin kalau melalui Dialog, paling tidak persoalan Papua bisa mendekati tahapan penyelesaiannya, atau paling tidak ada babak baru yang dimulai.
Tahun 2010, kedua tokoh ini bersama para rekan, mereka mendirikan Jaringan Damai Papua (Papuan Peace Network) dan masing-masing menjadi koordinator kolektif, alm. Tebay untuk tanah Papua dan alm. Widjojo untuk Jakarta. Dalam prosesnya, mereka pun sangat menyadari bahwa pasti akan ada tantangan berat, cacian, hinaan, makian. Orang di Jakarta (elit pemerintah) menghina dan menghujat Muridan dan orang Papua anti Dialog menyebutnya agen Intelejen. Sebaliknya, alm. Pater Neles mendapatkan mosi tidak percaya dari Papua anti Dialog bahwa antek-antek Jakarta dan dari pihak Jakarta, Pastor separatis karena bicara HAM. Begitu pun sederat pandangan pesimis dan negatif lainnya baik dari kubu Papua maupun Jakarta.
Sikap tegas pada prinsip dan pilihan hidup berakhir dengan sempurna hingga ajal menjemput. Mereka adalah pria sejati, pakar dan spesialis Papua, kawan dan guru abadi, terutama dalam upaya menciptakan tanah papua yang damai melalui Dialog. Menurut mereka, Dialog tidak membunuh, pula tidak mengecewakan karena segala sesuatu mesti dibahas dan disepakati bersama.
Kini pemilik, pemikir dan pendiri Dialog untuk Papua telah tiada. Alm. Muridan di panggil Tuhan tepat 7 Maret 2014 karena sakit di RS Mitra Keluarga Depok pukul 14.15 WIB. Kini genap 5 tahun kepergiaanya. Kini selanjutnya, sahabat seperjuangannya, Pater Neles Tebay telah mengikuti jejaknya. Pater Neles kepangkuan Bapa di Surga pada 14 April 2019 pukul 12.15 di RS St. Carolus Jakarta karena sakit.
Apakah Ide “Dialog Damai Papua” pun akan sirna dengan kepergian almarhum berdua? Kemungkinan bisa ya atau tidak. Ya bila kita tidak memperjuangkannya, dan tidak bila kita mengemasnya dalam sebuah kegiatan khusus.
Tulisan ini merefleksikan keadaan diatas terutama untuk menjawab pertanyaan diatas bahwa Dialog Damai Papua mesti dididirikan. Mungkin banyak tulisan-tulisan, pikiran-pikiran kedua orang ini belum dibahas tuntas. Masih tersimpan di rak-rak buku dan file-file komputer dan juga tersebar dimana-mana. Maka sudah sebuah kebutuhan dan keharusan untuk mengumpulkan itu dan menyimpannya dalam satu wadah dan organisasi yang saya sebut, “Honai Dialog Papua”.
Honai Dialog Papua sebaiknya berpusatkan di Jayapura, komplek Sekolah Tinggi Fajar Timur, Yerusalem Baru. Seturut visinya, Kampus ini hadir untuk membawai kabar suka cita (perdamaian) bagi umat Katolik di tanah Papua. Namun dengan peristiwa kehilangan Pater Neles, ketua Sekolah maka kampus ini, kita mendirikan Honai Dialog Papua. Dengan demikian, STFT akan menjadi tempat atau Rumah/ Honai Dialog Damai bagi Umat Manusia di tanah Papua, bukan hanya untuk Katolik. Hal ini juga sebagai satu dedikasi kita dan civitas akademika STFT untuk karya-karya dan pengabdian Pater.
Dengan demikian, mata air Dialog Damai akan terus mengalir. Generasi Papua akan datang menimbah dari sumber-sumber itu. Honai tempat berkumpul untuk memecahkan persoalan akan benar-benar diwujudkan dalam scope Papua, baik oleh generasi Katolik maupun non katolik, baik oleh orang Papua maupun non Papua. Honai Dialog benar-benar menjadi rumah kita bersama, sama halnya alm. Neles Tebay dan alm. Muridan Widjojo.
Untuk maksud agar ide Dialog Damai Pater Neles tidak hilang dengan pengaruh kekinian yang kian hebat, maka sangat dianjurkan agar jasad almarhum disemayamkan di tanah area Kampus. Hal ini amat penting untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mengingat hampir sebagian hidup Pater Neles selain Imam, tetapi beliau mendedikasikannya untuk mewujudkan Perdamaian di bumi Papua. Maka sudah selayaknya ditempatkan di tempat yang representatif dan dikemas dalam berbagai aktivitas agar kerja-kerjanya tetap ada walau fisiknya telah tiada.
Kemudian makamnya diatur agar berdekatan dengan Honai Dialog Papua. Para pengunjung yang akan datang, selain berziarah, dapat pula mendiskusikan tentang kiat kiat perdamaian. Dan untuk jangka panjang, bisa dibuat Sekolah/tempat Ret Ret Perdamaian yang mana dapat mendidik atau mengkaderkan duta-duta perdamaian, seperti Pater Neles sendiri. (*)
Oleh: Meki Wetipo
(Staf JDP Jakarta, 2012 – 2013)