“Kabut putih menipis….. kabut putih bersih menutup puncakmu
Ribuan pohonan seakan mengejar membelai punggungmu
Malam hari kau berubah bagaikan benteng terlupakan”
Ribuan pohonan seakan mengejar membelai punggungmu
Malam hari kau berubah bagaikan benteng terlupakan”
Penggalan lirik lagu Keroncong Gunung Cyclops yang dinyanyikan oleh mendiang drumer Black Brothers, Stevie Mambor mendiang di telinganya saat hujan deras berubah menjadi banjir bandang yang mematikan. Tiba-tiba saja dia merasa “malam hari kau berubah bagaikan benteng terlupakan”, adalah pesan terakhir untuknya. Benteng itu tak bisa menjaga dirinya lagi. Benteng itu ambruk bersama ribuan pohon dan mengejarnya. Bukan untuk membelai punggungnya, namun hendak membunuhnya. Gelapnya malam mungkin membuat kabut putih tipis terlena. Tapi bersama air bah yang menggulung batu, pohon dan lumpur, gelapnya malam telah membunuh kabut putih, yang senantiasa menutupi puncak Gunung Cyclops. Malam minggu itu, menjadi malam yang kejam!
Mungkin itulah yang terjadi pada Serafina, seorang perempuan yang hidup bersama seorang cucunya di lereng Gunung Cyclops seandainya dia mengenal tape recorder atau perangkat pemutar musik lainnya seperti orang kebanyakan. Tapi Serafina tak kenal tape recorder. Ia juga tak punya kemewahan waktu untuk mendengar musik. Yang membekas di benaknya hanyalah malam yang kejam pada 16 Maret 2019 itu nyaris membunuhnya bersama cucunya.
Sejak tiga tahun lalu, Serafina bermukim di kawasan lereng Gunung Cyclops. Ia datang dari sebuah lembah di Pegunungan Tengah papua, hendak menyusul anaknya yang pergi meninggalkan dirinya selama lima tahun lebih. Ia hanya ingat anaknya berkata hendak pergi ke Jayapura. Suami Serafina sudah meninggal tujuh tahun lalu.
“Sampai di Sentani, saya ketemu orang yang saya kenal di kampung. Namanya Poles. Dia kerja di bandara. Dari dia saya dengar anak saya sudah meninggal setahun lalu,” kata Serafina ketika ditanya bagaimana dirinya bisa berada di Jayapura, Selasa (19/3/2019) di lokasi pengungsian korban banjir Bandang, Gunung Merah, Sentani.
Serafina tak tahu berapa usia dirinya. Jika diminta mengingat satu peristiwa dalam hidupnya, ia hanya tersenyum dan berkata “pergi ke kebun” saja. Meski raut wajahnya menyiratkan usia lebih dari 50 tahun, mungkin Serafina baru berusia 40 tahun. Kerasnya kehidupan perempuan pegunungan cenderung membuat wajah mereka lebih tua dari usia.
Mendengar anaknya sudah meninggal, Serafina berniat kembali ke kampungnya. Tapi niat itu diurungkannya setelah mendengar dirinya punya seorang cucu yang saat ini tinggal bersama keluarga istri anaknya. Ia lalu tinggal bersama Poles dan keluarganya di kaki Gunung Cyclops sambil menunggu waktu yang tepat untuk mengunjungi cucunya.
Dua hari kemudian, bersama Poles, Serafina mengunjungi cucunya yang bernama Yakoba.
“Ternyata Yakoba punya mama sudah meninggal juga. Yakoba tinggal dengan keluarga mamanya di kota,” ujar Serafina tanpa bisa menjelaskan dimana lokasi yang dia sebut kota itu.
Yakoba yang belum genap berusia dua tahun itu lalu dibawa oleh Serafina karena kehidupan keluarga mendiang menantunya itu juga tak menentu.
Beberapa hari setelah hidup dengan Yakoba, Serafina mulai melupakan niatnya untuk kembali ke kampung. Ia meminta izin pada Poles untuk berkebun di sekitar rumah milik Poles yang letaknya hanya 10 meter dari bibir kali. Hanya itu yang bisa dilakukannya untuk menghidupi dirinya bersama Yakoba.
“Poles juga punya keluarga. Tidak mungkin saya dikasih makan terus oleh Poles,” kata Serafina.
Perempuan ini mulai menanam ubi jalar, singkong dan keladi. Jika sudah dipanen, ia menitipkannya pada Poles untuk dijual di pasar. Dari situlah Serafina menghidupi dirinya bersama cucunya.
Hingga tiga bulan lalu sebelum Gunung Cyclops murka, Poles harus pindah bersama keluarganya setelah mendapatkan pekerjaan baru di Timika. Tinggalah Serafina bersama Yakoba di rumah papan berukuran 5 x 5 meter itu.
Hari berganti hari, Serafina masih berkebun seperti yang selama ini dilakukannya. Tak sedikitpun ia pernah berpikir bahwa bahaya besar sedang mengintainya dari atas Gunung Cyclops hingga malam kejam itu mendatanginya.
Sebelum matahari hilang dari pandangan, Serafina telah selesai membersihkan ubi jalar yang baru digalinya untuk dibawa ke pasar saat pagi menjelang. Hujan rintik mulai dirasakannya saat meninggalkan kali tempatnya mencuci ubi jalar. Bersama Yakoba, ia bergegas kembali ke rumahnya.
Serafina terbiasa tidur jam delapan malam. Sedangkan Yakoba biasanya sudah lelap jam tujuh malam setelah makan.
Saat Yakoba terlelap, hujan semakin deras. Serafina pun mulai terlelap di samping Yakoba dan hujan deras masih terdengar di atap rumah.
Tiba-tiba Serafina terbangun karena mendengar orang berteriak-teriak di sekitar rumahnya. Suara hujan tidak terdengar lagi, berganti dengan suara derasnya air yang mengalir di kali dekat rumah mereka. Sayup-sayup Serafina mendengar orang-orang memanggil dirinya.
“Serafina…., Yakoba…. Keluar dari rumah. Banjir. Bahaya…..” kata Serafina mengulangi kata-kata orang-orang yang memanggul dirinya agar keluar dari rumah.
Ia mulai mendengar bunyi batu saling hantam disela derasnya air yang mengalir di sungai. Saat itulah dia sadar bahaya besar sedang mengancam dirinya bersama Yakoba. Segera dia membangunkan Yakoba lalu menggendong cucunya itu keluar rumah. Selain senter yang selalu berada disamping kepalanya saat tidur, ia hanya sempat meraih lembaran plastik yang bisa digunakannya menutupi hasil panen di kebun. Dengan lembaran plastik itu, Serafina melindungi dirinya bersama Yakoba dari air hujan yang terasa menusuk kulit.
Di luar rumah, air kali meluap sampai di pelataran. Tak lama lagi, luapan itu akan sampai ke dalam rumah tempatnya tinggal. Mata Serafina mencari dari mana asal suara yang memanggil dirinya sambil mengarahkan senter ke berbagai penjuru. Sementara Yakoba yang digendongnya mulai menangis. Sinar lampu senter berkelebatan, mata Serafina tertumbuk. Sekitar 10 meter di tebing kecil tepat di atas rumahnya, tampak sekelompok orang melambaikan tangan mereka, sambil meneriakan namanya.
Serafina hendak melangkahkan kakinya saat kembali didengarnya bunyi batu besar beradu di tengah kali. Diarahkannya lampu senternya ke kali. Di tengah kali tampak kilau batu besar bergulingan dibawa air. Sebatang pohon besar hanyut berdesakan dengan batu-batu itu. Tiba-tiba satu batu besar berguling dari bibir kali menuju tempat Serafina berdiri. Ia berteriak, tapi suaranya hilang ditelan gemuruh air kali. Matanya tertutup, nafasnya seakan hilang.
“Saya kira itulah akhir hidup saya dan Yakoba,” ujar Serafina.
Rupanya batu besar itu tersangkut akar pohon yang hanyut. Serafina mengumpulkan sisa-sisa keberaniannya lalu melangkah ke arah kumpulan orang-orang yang berdiri di di atas rumahnya. Seorang lelaki turun dari atas tebing itu menjemput Serafina dan Yakoba lalu menarik keduanya. Di atas tebing itulah, Serafina bersama 27 orang lainnya berdiri menadah hujan deras selama hampir lima jam. Mereka tak bisa kemana-mana. Batu-batu besar telah menutupi jalan setapak yang biasanya digunakan. Mereka hanya bisa menyaksikan rumah yang mereka tempati satu persatu hanyut dibawa luapan air kali.
Ketika pagi menjelang, sekitar lima orang datang menjemput mereka. Hujan belum juga reda, kali masih meluapkan isinya. Perlahan mereka meniti batu-batu yang turun dari gunung Cyclops bersama air dan longsoran tanah hingga tiba di gereja tempat mereka berlindung sebelum pindah ke Gunung Merah.
“Saya dengar orang-orang bilang besok bisa lebih parah lagi kalau hujan tidak berhenti,” kata Serafina.
Dan memang, hujan turun dimalam berikutnya, menghanyutkan semua yang tersisa di pinggir kali. Tak ada lagi yang tersisa buat Serafina dan Yakoba.
“Saya tidak tahu kalau kita tidak boleh tinggal di situ,” jawab Serafina polos.
Perempuan ini memang tidak pernah tahu bahwa lokasi tempatnya tinggal adalah kawasan cagar alam yang terlarang untuk pemukiman. Yang dia tahu hanyalah menyambung hidup bersama cucunya. (*)
Sumber : Jubi.co.id