*Oleh: Hari Suroto
Pulau Ahe terletak di Kampung Mambor, Distrik Kepulauan Moora, Kabupaten Nabire. Pulau ini pernah menjadi destinasi favorit wisatawan mancanegara. Pulau ini pada mulanya dikelola oleh insvestor dari Belanda yaitu Mr. Arne.
Oleh Mr. Arne, pulau Ahe dilengkapi dengan berbagai fasilitas pendukung wisatawan, baik homestay, dermaga perahu, maupun fasilitas menyelam.
Selain itu, dia mendatangkan beberapa ekor burung mambruk, kuskus, dan hewan asli pulau, seperti tikus tanah dan berbagai jenis burung liar ke sana dan tidak boleh diganggu atau ditangkap. Masyarakat Kampung Mambor juga tidak diperbolehkan menangkap ikan di sekitar pulau Ahe atau tidak boleh beraktivitas di sekitar perairan pulau Ahe.
Selain itu Mr. Arne juga mempekerjakan pemuda dari Kampung Mambor untuk bekerja di homestay. Namun pengelolaan pulau Ahe bermasalah. Berdasarkan sumber yang tidak mau disebutkan namanya, Mr. Arne kurang banyak berkontribusi dalam pembangungan di Kampung Mambor.
Selain itu, pemuda di kampung Mambor yang bekerja di homestay perilakunya jadi berubah, mulai mengenal minuman keras. Selain itu pada hari Minggu, para pemuda ini tetap mengantar wisatawan untuk menyelam, sehingga mereka tidak pergi beribadah ke gereja lagi.
Namun, dari segi positifnya lingkungan tetap terjaga oleh karena pengelolaan pulau tersebut, baik ekosistem bawah air, maupun lingkungan pulau.
Hewan-hewan seperti tikus tanah, mambruk, maupun kuskus, pada siang hari bebas berkeliaran tanpa peduli pada wisatawan yang berjemur di pantai. Begitu juga dengan kondisi bawah air pulau, terumbu karang terjaga, segala jenis ikan mudah dijumpai, dan menjadi atraksi tersendiri ketika wisatawan dapat memberi makan ikan di dermaga.
Namun kondisi saat ini berbeda. Kita sulit melihat kuskus dan mambruk di pulau Ahe. Kelelawar dan burung-burung liar juga susah dijumpai, karena diburu setiap malam dengan senapan angin. Sampah plastik bertebaran di sepanjang pantai. Hanya terlihat puing-puing bekas homestay.
Hingga kini masalah pengelolaan wisata pulau Ahe belum selesai, tapi Mr. Arne berusaha untuk tetap mengelola lokasi wisata itu.
Masyarakat terpecah menjadi dua suara–mendung dan menuntut pria asal Belanda itu agar tidak mengelola pulau Ahe lagi. Persoalan ini sudah dibawa hingga ke bupati dan DPRD Nabire, tapi belum ada keputusan untuk menyelesaikan sengketa pulau Ahe.
Belum ada titik temu dalam sengketa pengelolaan itu. Pertemuan demi pertemuan yang melibatkan pihak-pihak terkait juga belum menemukan titik temu.
Pada dasarnya, menurut sumber di sana, masyarakat Mambor hanya menginginkan komunikasi baik dan dialog dengan Mr. Arne atau investor lainnya agar memperhatikan kondisi masyarakat sekitar dengan bantuan tanggung jawab sosial perusahaan (CSR).
Hal lainnya adalah pemberdayaan masyarakat dengan memperhatikan kearifan lokal. Misalnya, hari Minggu adalah hari libur dan tidak boleh ada aktivitas apapun selain beribadah. Mengantar wisatawan pada hari Minggu dianggap keliru karena merupakan hari beribadah.
Selain itu dalam hal CSR, harus menyisihkan penghasilan homestay untuk pembangunan kampung maupun fasilitas umum kampung seperti gereja. Apa yang bisa dipelajari dari kasus Mr. Arne di pulau Ahe? Siapa pun investor yang mau berinvestasi di Papua, dialog dan komunikasi tidak boleh terputus, dan tetap menghormati kearifan lokal setempat.
Untuk masyarakat Mambor dan masyarakat Papua di manapun, harus mengambil nilai positif dan contoh positif dari kasus pulau Ahe, yaitu tetap menjaga lingkungan sekitar, baik flora dan fauna di atas tanah, maupun ekosistem bawah airnya.
Pulau Ahe saat ini hanyalah sebuah pulau kosong yang tidak berpenghuni–hanya ditumbuhi pohon kelapa dan semak belukar saja. Kondisi bawah airnya sudah tidak terpelihara lagi. Ikan-ikan sudah berkurang, baik jenis maupun jumlahnya.
Ada hal yang harus dipelajari oleh Pemerintah Kabupaten Nabire, yaitu pemerintah daerah harus melindungi masyarakat lokal. Pemda dan DPRD harus menyiapkan payung hukum untuk melindungi masyarakat lokal. (*)
*Penulis adalah peneliti di Balai Arkeologi Papua
Sumber: Jubi co.id