Jayapura, nirmeke.com – Peraturan Daerah Provinsi Nomor 15 Tahun 2013 tentang Pelarangan Produksi, Pengedaran, dan Penjualan Minuman Beralkohol seperti mati suri karena tidak dijalankan. Solidaritas Anti Minuman Keras dan Narkoba Kota Jayapura mempertanyakan komitmen para kepala daerah di Papua untuk memberantas peredaran minuman keras di Papua.
Anias Lengka, Ketua Solidaritas Anti Miras dan Narkoba (SAMN) kota Jayapura menyatakan para bupati dan wali kota di Papua tidak berkomitmen untuk menjalankan Peraturan Daerah Provinsi (Perdasi) Nomor 15 Tahun 2013 itu. “Bahkan setelah 29 bupati/wali kota menandatangani Pakta Integritas Miras pada 30 Maret 2016, Perdasi itu tetap tidak efektif berlaku,” kata Lengka di Jayapura, Kamis (14/3/2019).
Lengka menilai pelaksanaan Perdasi oleh pemeritah kabupaten/kota bergantung kepada kemauan politik bupati/wali kota untuk memberantas miras di wilayahnya. “Dari 29 bupati/ wali kota di Papua, hanyalah Bupati Jayawijaya Jhon Ricard Banua yang menjalankan perdasi itu. Dalam 100 hari pertama jabatannya, Banua terus memberikan sanksi kepada para penjual miras maupun konsumennya,” kata Lengka.
Lengka mengapresiasi ketegasan Banua memberantas miras di Jayawijaya itu. “Itu menjawab pergumulan Gereja dan masyarakat Jayawijaya yang selalu resah karena peredaran minuman beralkohol. Banyak pihak mendukung kebijakan Banua, demi terwujudnya keamanan, ketertiban, dan keselamatan manusia Papua di Jayawijaya,” kata Lengka.
Aktivis SAMN, Frengky Ikinia menyatakan peredaran miras di Papua melibatkan sejumlah oknum kepala distrik atau kepala kampung. Ikinia meminta bupati/wali kota berani memberikan sanksi tegas kepada kepala distrik atau kepala kampung yang terlibat dalam praktik jual beli miras, atau memproduksi miras lokal (milo).
“Pintu masuk peredaran miras (dari luar Papua) kebanyakan diangkut dengan pesawat, seharusnya bisa dicegah. Akan tetapi, peredaran miras memang melibatkan sejumlah oknum (aparatur), terutama di bagian pegunungan Papua,” kata Ikinia. (*)
Editor : Agus Pabika