Yogyakarta, nirmeke.com – Ada hal menarik di acara Ngopi Bareng KAI #3 di Stasiun Tugu Yogyakarta sisi selatan, Senin (11/3/2019). Di salah satu stand dari total 30 yang ada, tampak pemandangan tak biasa di mana dua anak muda asal Papua terlihat begitu serius meracik kopi bernama Bintang Papua.
Salah satunya ternyata bernama Beata Kukenum Itul, ia adalah mahasiswa Pendidikan Guru di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta asal Pegunungan Bintang, Papua. Baru beberapa waktu terakhir ia belajar tentang kopi yang ternyata baru diketahuinya juga berasal dari tempat lahirnya di Bumi Cendrawasih.
Sosok Marhaendro Siswo Utomo, seorang pebisnis kopi mengangkat Bintang Timur yang kemudian memberikan banyak pemahaman pada Beata. Kisah perjalanan panjang pun lantas diceritakan ketika mengobrol dengan Beata dan Marhaendro di sela pembukaan acara Ngopi Bareng KAI tersebut.
Marhaendo memulai ketika ternyata kopi di Pegunungan Bintang telah ditanam oleh Belanda pada sekitar tahun 1948 lalu. Namun begitu, orang-orang Belanda dikatakannya tak pernah merasakan panen lantaran mereka terusir dari Bumi Pertiwi saat pohon kopi yang ditanam belum berbuah.
“Tapi kopi Pegunungan Bintang ini tersembunyi cukup lama karena masyarakat di sana tidak tahu itu pohon kopi. Bahkan dahulu buah kopi ini digunakan sebagai penggosok kulit untuk menghilangkan bulu oleh masyarakat di Pegunungan Bintang,” ungkapnya.
Namun begitu, saat pemekaran wilayah yakni tahun 2007 lalu, masyarakat Pegunungan Bintang di empat distrik mulai mengetahui bahwa kopi memiliki nilai jual dan nikmat diminum. “Mulai ada yang jual tapi itupun hanya dibeli oleh pilot-pilot pesawat, banyak orang Belanda yang beli jadi masih sangat sedikit,” sambungya.
Marhaendro lantas menceritakan kisah pertama kali ia mendarat di Pegunungan Bintang pada 2014 lalu dalam misi pencarian tersebut. Ia mengaku takut saat harus menempuh perjalanan antar distrik dengan pesawat kecil lantaran tak tersedianya transportasi darat.
“Saya takut, kemudian memilih jalan kaki dan ternyata tiga hari waktu tempuhnya, sangat melelahkan. Tapi di tengah perjalanan saya dikejutkan dengan banyaknya tanaman kopi yang tumbuh di antara rumput dan pohon-pohon besar di hutan. Dan pohon-pohon kopi ini belum dimanfaatkan oleh masyarakat,” imbuhnya.
Dari situlah muncul ide untuk mengembangkan kopi Pegunungan Bintang yang lantas diberinama Bintang Papua. Masyarakat di empat distrik di Pegunungan Bintang kemudian diberikan pelatihan oleh Marhaendro untuk mengolah buah menjadi biji untuk kemudian diterbangkan ke Yogyakarta dan diproses lebih lanjut.
“Saya yakin karena kopi Pegunungan Bintang ini punya rasa khas. Tanamannya tumbuh diantara pohon dan rumput di hutan, bukan kebun kopi seperti di daerah lainnya. Ini membuat rasa dan aromannya sangat khas ya manis ya gado-gado karena di sekitarnya berbeda pohon, benar-benar di hutan,” sambungnya lagi.
Setelah menempuh empat tahun, saat ini misi besar pun diemban Beata yang merupakan warga asli Pegunungan Bintang. Beata kini ditantang untuk membawa pulang ilmu tak hanya dari bangku universitas saja namun juga dari kopi untuk membangun daerahnya dari banyak sisi.
“Saya harus belajar juga bagaimana cara roasting, brewer hingga manajemen produksinya. Nanti saya harus bawa ke rumah untuk ditularkan pada masyarakat agar kopi kami lebih baik lagi kedepan. Itu misi saya selama di Yogya ini,” ungkap Beata.
Kopi di Indonesia memang begitu beragam dengan segala cerita berbeda dari masing-masing daerah. Tak heran mengapa bangsa kita banyak dilirik dunia internasional sebagai salah satu produsen kopi terbaik di dunia. (*)
Sumber : KRJOGJA.com