Boven Digoel, Ujian Pemerintah Pusat
Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Instruksi Presiden (Impres) Nomor. 8 tahun 2018 yang menekankan pelarangan sementara terhadap izin barang untuk perkebunan sawit. Tetapi, moratorium sawit ternyata tidak serta merta menghentikan penghancuran hutan yang sedang terjadi. Sebab, sebelum kebijakan tersebut diberlakukan, telah terbit izin-izin konsesi perkebunan sawit terhadap ratusan ribu hektar hutan. Penghancuran hutan pun berlanjut, termasuk di kawasan konservasi proyek Tanah Merah di Boven Digoel, Papua.
Proyek tanah merah adalah ancaman terbesar bagi kelangsungan hutan di Indonesia. Proyek mencakup area sebesar 2.800 km2 itu setara dengan lebih dari 4 kali luasan DKI Jakarta. Jika proyek itu selesai, maka jumlah emisi karbon yang dikeluarkan akan sangat tinggi.
Para investor yang bersembunyi di belakang proyek Tanah Merah, telah menyerahkan segala upaya dan taktik untuk menyamarkan wajah mereka. Sampai hari ini, jawaban terhadap Siapa sesungguhnya pemegang saham atau pemilik utama dari perusahaan perusahaan dibalik proyek Tanah Merah, masih jadi teka-teki dan diselimuti kerahasiaan.
Ketika proyek tersebut dimulai, Bupati Boven Digoel Yusak Yaluwo yang sedang menjabat kala itu, ditangkap dan dipenjara di Jakarta atas korupsi anggaran daerah. Izin proyek Tanah Merah diterbitkan dari penjara. Tak heran jika AMDAL proyek Tanah Merah tampaknya sengaja dirahasiakan dari pantauan publik.
Dua perusahaan Malaysia yang memegang izin di sana yaitu, Shin Yang dan Rimbunan Hijau merupakan dua perusahaan pembalakan kayu dengan reputasi buruk di dunia. Keduanya telah berada dalam sorotan publik terkait skandal lingkungan dan pelanggaran HAM yang berulang-ulang, termasuk dengan apa yang telah terjadi di Lembah Kongo dan Papua Nugini.
Proyek tanah merah merupakan suatu ujian yang mengetes komitmen internasional Indonesia terkait pengertian laju deforestasi. Apakah Indonesia mampu menghentikannya? (*)
Sumber: Koran Jubi