Uangkap Jubir FRI-WP Surya melalui pers rilis yang dikirim. Kamis, (14/2/2019).
Ia menambahkan saat itu juga, demokrasi ala kolonial Indonesia hadir di sana (Papua). Demokrasi yang tak pernah benar-benar mencoba, apalagi menjamin, kebebasan rakyat West Papua untuk menentukan nasibnya sendiri. Negara Indonesia tidak pernah peduli pada hak berdemokrasi rakyat West Papua. Cara-cara represif dan manipulatif sudah pernah dilakukan Indonesia sejak pelaksanaan Penentuan Pendapat Rakyat Pepera) tahun 1969 di West Papua. Praktik seperti itu yang juga masih bertahan sampai saat ini di West Papua.
“Sejarah memperlihatkan pada rakyat West Papua, juga rakyat Indonesia, bahwa Indonesia hampir selalu gagal menjawab berbagai permasalahan yang terjadi di West Papua. Mulai dari soal pelanggaran kesepakatan New York Agreement 15 Agustus 1962, ketika Indonesia diwajibkan menyelenggarakan Penentuan Pendapat Rakyat (PEPERA) secara one person one vote; genosida perlahan selama kurun 50-an tahun; perusakan hutan yang begitu masif, gizi buruk; eksploitasi begitu masif terhadap bahan-bahan tambang (emas, tembaga, uranium, minyak, gas dsb)-yang berakibat peningkatan jumlah ton tailing yang merusak alam West Papua; ketimpangan sosial antara penduduk asal dan pendatang, jiudicial killing terhadap warga sipil termasuk aktivis; perlakuan rasis terhadap rakyat West Papua; hingga pengekangan kebebasan berkumpul dan berpendapat,” ungkap Surya saat melakukan Konferensi Pers di LBH Jakarta Pernyataan sikap Golput, Pilpers 2019 bersama Alinasi Mahasiswa Papua (AMP).
Kata Surya, Kontestasi pemilu tahun ini sama seperti pemilu-pemilu sebelumnya. Masing-masing partai, beserta calon-calon legislatifnya dan calon presiden serta wakil presiden, berebut suara dari rakyat West Papua yang paling mendasar, “Hak Penentuan Nasip Sendiri” atau bicara soal mengurangi mobilisasi dan mengadili para pelaku pelanggar HAM atau menjadi kebebasan berpendapat bagi semua kelompok sipil.
“Meski suara dukungan rakyat West Papua jadi rebutan, ironisnya dalam debat pilpers pertama soal West Papua sama sekali tidak di perbincangkan baik oleh Jokowi maupun Prabowo. Prabowo sendiri memiliki track recor buruk di Papua dalam kasus Mapenduma, namun bukan berarti Jokowi lebih baik, Jokowi sebagai incumbent, telah membiarkan pelanggaran hak asasi manusia berulang kali terjadi, misalnya kasus Paniai berdarah yang tak rampung, Kasus Deiyai dan Dogiyai yang juga tak selesai, belum lagi kasus-kasus penangkapan masal para aktifis West Papua, yang belakangan Masih sering terjadi,” kata Surya.
Mewakili Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) Erepul menyatakan, Jokowi memiliki kekuasaan namun, kekuasaanya tidak digunakan untuk menyelesaikan kasus pelanggaran HAM dan membiarkan pelanggaran terus terjadi, pembiaran itu artinya, mengiyakan dan jadi bagian pembuatan pelanggaran HAM.
“Ditamba lagi, sampai sekarang masih dilakukan operasi militer di Nduga, distrik Dall, distrik Jigi, Mbuah, Mikuri, Ekniggal, Yall, Mam dan distrik Mugi. Sebagaimana operasi-operasi militer sebelumnya di West Papua, operasi militer itu memakan banyak korban sipil, puluhan rakyat termasuk anak-anak meninggal, dan terjadi penahanan dan pembakaran rumah, ada setidaknya 20.000. orang yang terpaksa mengungsi keluar dari daerah tersebut, akibatnya, Pendidikan kegiatan ekonomi dan keagamaan tidak berjalan dengan normal. Akses pemerintahan Sipil, Wakil rakyat, Pekerja Kemanusian, sangat sulit kehadiran aparat TNI, Polri disana justru menyebakan rakyat traumah,” katanya.
Dalam kenyataan sejarah dan keadaan seperti itu kata Erepul, wajar jika rakyat West Papua tak berpusing soal Pemilu dan Pilpers 2019. Gerakan tersebut hampir mustahil menjadi hal yang penting bagi rakyat West Papua, sebab 1), Keberadaan Indonesia di wilayah West Papua ilegal, 2), Tak ada partai politik yang menyuarakan permasalahan masalah West Papua dan 3), pelaksanaan pemilu itu sendiri tak lain hanya untuk melagengkan peraktek-peraktek klonialisme, menjadi alat bagi pemerintahan klonial untuk menempatkan penguasa-penguasa lokal dalam mengamankan kepentingan.
“kami dari Front Rakyat Indonesia Untuk West Papua (FRI-WP) dan Alinasi Mahasiswa Papua (AMP) Seperti halnya rakyat West Papua mustahil membayangkan adanya demokrasi kesejateraan bagi rakyat West Papua, jika masih berada dalam cengkaman klonialisme Indonesia, tak ada pesta demokrasi jika rakyat tak memiliki hak untuk menentukan nasipnya sendiri untuk itu, kami mengambil sikap dan menyatkan bahwa: 1) tidak mengikuti mengikuti Presiden dan pemilihan umum 2019, 2) Berikan Penentuan Nasip sendiri bagi rakyat Wets Papua 3) Tarik Militer organik dan nonorganik dari wets Papua, 4) membuka akses Jurnalis dan Informasi untuk west Papua.
Sementara itu Ambrosius Mulait PLT Dewan Pimpinan Wilayah (AMPTPI) Wilayah Indonesia Barat mendukung aksi untuk melakukan Golput Pilpres dan Pileg Pemilu pada 17 April 2019 mendatang karena pemerintah pusat maupun daerah tidak pernah menghargai manusia West Papua yang bermartabat sama seperti, provinsi lain di Indonesia yang hidupnya rukun damai, sementara rakyat Papua di intimidasi dengan moncong senjata oleh para aparat militer berbeluran darah, dan penyelesaian tidak berna titik temu Padahal pelaku sudah jelas aparat.
“Hari ini semua kebijakan era Jokowi lebih pada pembangunan sementara dia menutup mata ketika orang Papua dapat bunuh, padahal yang akan menikmati pembangunan itu manusia tetapi kenyataan tidak sesuai perikemanusian yang harusnya dihargai. Tahun 2014 Jokowi sendiri berjanji menyelesaikan pelanggaran HAM namun tidak mampu mengakomodir janjinya, demikian Prabowo selaku pelanggar HAM bagaimana mungkin kita yakikan kedua capres yang notabenenya pembohong, sama saja tidak berguna bagi rakyat Papua,” kata Mulait.
Ia menambahkan Propaganda tehadap kejahatan negara di tanah west Papua sudah 57 tahun tidak pernah terselesaikan, maka tidak ada harapan hidup di republik ini, sehingga jalan yang harus kita ambil bersama yaitu Golput dan menentukan nasib sendiri untuk West Papua.(*)
Editor : Agus Pabika