*Oleh; Soleman Itlay
Mungkin para pemimpin menunggu murkah Tuhan lalu bergerak kah pa e? Itu kurang baik. Setidaknya ada kesadaranlah. Soalnya, masalah pendulangan emas ini bukan baru disuarakan. Sejak “Luka Malaikat Kecil Dari Korowai” bernama Puti Hatil sudah mulai suarakan. Kalau diingat baik itu sejak 03 Oktober 2017 lalu. Tapi Puti Hatil sudah dipulangkan secara paksa.
Oleh orang-orang dinas kesakitan dan kematian yang hidupnya atas nama orang sakit, penderita dan OAP itu. Hitung saja semenjak dia dipulangkan ke istana Afimabul sampai sekarang. Sekarang sudah 11 bulan. Waktu pemeriksaan pendeta yang menerbangkan Puti beserta keluarganya dari Danowage ke Sentani pertama kali itupun sudah berlalu.
Pada April lalu ia diperiksa karena karya pelayanan di sektor lain. Waktu itu, mukat (setan) memeriksa pendeta karya pelayanan kesehatan. Namun sebenarnya itu terjadi karena Tuhan pu kaki tangan menelanjangi singa, harimau dan serigala yang menjelma sebagai akar rumput biasa. Sekarang sudah terhitung 4 bulan.
Beranjak ke lain. Pada Juni lalu, mahasiswa dan pemuda melakukan aksi illegal logging di Korowai di hanai wakil rakyat, DPR Papua. Bila dihitung maju, sekarang sudah 2 bulan lebih. Wakil rakyat saat itu berjanji diatas pangkuan ibu segala yang hidup. Mereka berkomitmen untuk membentuk tim investigasi dan berkunjung kesana.
Bukan mereka saja. Lembaga eksekutif dan LSM juga pernah angkat bicara. Hingga membuat ibu yang terbaring karena kepedihan kejahatan dan kekerasan sejenak tersenyum. Janji dan komitmen mereka disambut dengan tepuk tangan oleh kerikil-kerikil dalam kain berwarna putih dan merah. Mereka memberi tanda apresiasi dari mana-mana.
Sungguh dengan tulus dan senang hati. Tapi bagaimana janji dan komitmen bos-bos yang diabadikan oleh para penangkap dan penyebar kata-kata dunia? Janji mereka di koran, majalah, tabloid, web dan halaman hanyalah hampa. Mereka membuat para pemulung kata menyibukan diri.
Padahal peristiwa demi peristiwa akan menimbui mereka sampai kelupaan. Semua perhatian, keprihatinan dan kepedulian sewaktu isu hangat membuat semua orang ingin menunjukkan belas kasih. Tetapi ketika isu itu semakin redup, reduplah segala kebaikan yang mereka pernah ditunjukkan di muka umum.
Baru-baru ini, Yan Akobiarek dan pendeta Trevor mengupdate informasi terakhir. Mereka mewartakan keberadaan anak-anak Pertiwi d Korowai. Mereka katakan, bahwa tamu-tamu Papua yang mendulang emas itu masih ada. Kata mereka, anak-anak simbol ibu Indonesia itu melakukan aktivitas tanpa sepengetahuan pemilik dataran rendah Korowai.
Mereka memastikan kalau buah hati penelan nyawa pribumi itu masih mencemari sungai Kawe, Brukmakot, Dairam dan lainnya tanpa surat ijin dari dinas yang terkait yang biasanya mengontrol SDA, termasuk Korowai. Mereka ini bicara tanpa bosan-bosan. Sampai di akun facebooknya mereka kasih padat dengan isu yang sama.
Tetapi hingga memasuki di bulan kemerdekaan bagi bingkai pendudukan untuk orang dan tanah air ini, tidak ada pihak yang bisa mengatasi perilaku dan tindakan generasi penerus Soekarno dan Soeharto yang meracuni nafas kehidupan dunia di Korowai. Tulang punggung mereka terus mengoperasi aktivitas tak berhukum.
Sementara kaum pribumi dengan menderita dan melarat mencari nafkah di tengah-tengah hutan, dibawah pepohonan dan pinggiran kali sertai sungai. Mereka masuk keluar ke hutan sagu yang terancam punah. Berburuh dibawah pohon-pohon yang sedikit demi sedikit terkikis hilang. Mengumpulkan bekal rumah tangga di samping ancaman kematian.
Kaum pribumi melakukan aktivitas seperti biasa. Ketidaktahuan mereka atas emas, membuat kaum perusak alam berbangga rasa dan bergirang hati di atas tanah leluhur. Ketakutan terhadap ancaman intimidasi dan kekerasan memberikan peluang besar-besaran kepada perenggang nasib dan masa depan anak cucu mereka disana.
Keberadaan singa, harimau dan seringala yang menjelmah sebagai insan biasa membuat masyarakat takut dan diam seribu kata. Mereka amat takut binatang-binatang buas tersebut menghilangkan nafas mereka secara diam-diam. Mereka takut membuat sejarah bagi anak cucu mereka akan pembunuhan bisu dan masif di hutan-hutan.
Dalam keterbatasan ilmu pengetahuan, pola pikir, informasi dan perkembangan dunia luar, mereka akan ditipu oleh gerombolan bos Theo dengan rombongannya. Dari awal, sekarang dan nantinya mereka akan mendapat tipu dengan beras bulog (kotor), superme, gula, kopi, rokok, handphone, parang, kampak, pisau dan janji manis kelakar pula.
Semua orang hanya akan menikmati kisah penderitaan dan ancaman zat atau racun “Merkuri” di kali dan sungai disana. Instansi yang sah akan senang karena kesakitan dan kematian kecil besar akibat operasi pendulangan emas disana. Orang-orang di kursi sofa akan mendapatkan pemasukan tambahan atas nama mereka disana.
Semua lembaga terkait akan membuat program dan kebijakan untuk refreshing disana seperti yang dilakukan oleh dinas kesakitan dan kematian beserta dua institusi pemburuh nyawa pada 23 November di Danowage. Seperti pada saat itu melahirkan 44 rekokmendasi untuk bangun pos kesehatan, pendidikan berpola asrama dan air bersih.
Disini mengingatkan kembali nama Lukas Enembe. Saat itu ia turun ke Danowage sebelum pilgub Papua dilaksanakan. Karena Puti Hatil, dia kesana. Dia melahirkan janji-janji bersama orang yang memulangkan Puti secara paksa itu. Janji banyak. Salah seorang jurnalis menulis di Jubi. Lukas berjanji untuk bangun pusat kesehatan dan pendidikan di Danowage Korowai.
Kiranya dalam masa jabatan kedua ini menempati janji-janjinya. Bahkan memberikan taraf dan kualitas hidup baru bagi suku-suku di wilayah Korowai. Tapi juga membuat Korowai bebas dari aktivitas pedulangan emas secara liar. Doa dan harapan besar adalah Lukas menindak tegas pada pekerja emas liar disana.
Semoga Lukas Enembe ingat orang Korowai pada periode berikut ini. Sampai benar-benar: (1), Niko Yarik (anak tuan dusun) dan (2), istrinya, (3), Karolina Yarik (anaknya tua dusun), (4), Anaknya Yeremias Tembub dan (5) Kepala Suku adalah orang terakhir yang meninggal dunia karena kurang adanya layanan kesehatan.
*Penulis Adalah Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiwa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St. Efrem Jayapura, Papua.