Oleh; Kristianto Galuwo*
Petrus Ayamiseba dan Leo Wandagau, buruh Freeport yang berunjuk rasa menuntut kesejahteraan, pada 10 Oktober 2011. Mereka tewas diterjang peluru. Jika sekarang buruh Freeport merasakan upah lebih dari cukup, maka dua nyawa itulah tumbalnya. Kendati hari ini, masih disaksikan PHK sepihak.
Yulianus Pigai. Ia bersama warga Desa Oneibo, Deiyai, hendak meminjam mobil sebuah perusahaan, untuk mengantar salah satu warga yang nyaris tenggelam ke rumah sakit. Pihak perusahaan menolak membantu. Nyawa warga itu akhirnya tak tertolong, lantas mengundang kemarahan penduduk desa. Perusahaan memakai aparat sebagai perisai. Mereka yang protes diberondong peluru. Perut dan paha Pigai dirobek timah panas. Tubuhnya lempai ke tanah. Ia akhirnya meninggal dalam perjalanan ke rumah sakit.
Sabusek Kabak, Yenias Wanimbo, dan Demy Kepno. Ketiganya terbunuh pada kerusuhan 2 Juli 2014. Seorang polisi tewas ketika hendak mengamankan perjudian di Pasar Youtefa, Abepura. Tapi sorenya, saat penggerebekan para terduga pelaku, aksi “balas dendam” terjadi. Menyusul ditemukannya tiga jenazah orang Papua itu. Kabak hanyalah seorang mahasiswa yang terjebak saat kerusuhan terjadi.
Irwan Wenda. Ia ditembak polisi 8 Agustus 2013 di Wamena. Kaki kiri, perut, dan kepalanya ditembak dari jarak dua meter. Padahal Wenda yang menderita keterbelakangan mental, hanya memukul si polisi dengan batang tebu. Apakah berhak mengatakan Wenda tak memiliki mimpi karena dia gila, dan seenaknya menjabal nyawanya?
Yulinus Okoare dan Imanuel Mailmur. Keduanya terbunuh oleh senapan dua tentara di Mimika. Padahal kedua korban hanya ikut berpesta di rumah seorang warga asli Papua, yang menggelar syukuran karena berhasil meraih gelar doktor. Kedua tentara itu mabuk dan ingin membubarkan pesta. Sampai kerusuhan dan penembakan terjadi.
Emerikus Konakaimu, yang terkapar bersimbah darah pada 30 Oktober 2015 di Merauke. Pahanya ditembus peluru seorang polisi. Ia dan temannya dituduh mencuri motor. Polisi itu tidak tahu, kalau motor itu telah dikembalikan Emerikus dan temannya. Emerikus baru 19 tahun.
Mako Tabuni dan Hubertus Mabel. Tabuni adalah Wakil Ketua Komite Nasional Papua Barat (KNPB). Pada 14 Juni 2012, polisi tak berseragam menembaknya. Ia dituding melakukan serangkaian penembakan terhadap warga non-Papua, termasuk salah seorang turis Jerman. Mabel pun dituduh serupa. Ia tewas pada 16 Desember 2012 di Jayawijaya. Tuduhan kepada mereka berdua tentu saja tidak pernah terbukti. Tidak ada penyelidikan imparsial atau independen terhadap dua kasus pembunuhan itu.
Mereka yang melegenda seperti Arnold C. Ap, Theys Hiyo Eluay, dan Kelly Kwalik. Mereka yang nyawanya lingkap di tangan aparat. Para pembunuh hidup enak dan naik pangkat. Rezim sekarang memanjakan mereka, tinimbang menuntaskan janji-janji yang dihambur semasa kampanye. Nyawa dan raga orang Papua tak bisa diganti jembatan, jalan, gedung-gedung mewah, atau dengan pelesir berulang kali smbil tebar senyum dan da-da-da-da.
Ada banyak lagi daftar kematian serupa di atas yang terjadi dan tidak pernah tuntas. Wamena Berdarah, Wasior Berdarah, Dogiyai Berdarah, Paniai Berdarah, dan Abepura Berdarah. Peristiwa dilabeli “berdarah” masih terus terjadi sampai sekarang.
Bahkan soal pelayanan kesehatan, mati dulu baru iklan-iklan penanganan diparadekan. Balita di Korowai dan Asmat yang baru mau mulai bermimpi, akhirnya harus menyerah dilindas rasa lapar. Tengok pula bocah-bocah berseragam lusuh yang merindukan guru. Impian mama-mama Papua yang setiap hari disengat matahari, saat berjualan di trotoar jalan. Atau suku-suku yang tanah adat mereka direbut korporasi.
Dan hari ini, pada peringatan 1 Desember di berbagai kota di Indonesia, aparat keamanan dan orang Indonesia kembali menaburkan garam ke luka yang masih menganga.
Masih ingin bertanya: kenapa orang Papua ingin merdeka?
*Penulis adalah jurnalis di Papua
Tulisan ini sebelumnya sudah di publis oleh KO`SAPA (Komunitas Sastra Papua)