Jayapura, nirmeke.com – Krisis pangan kini menjadi ancaman serius kehidupan perempuan Papua. Hal itu disampaikan Koordinator Divisi Perempuan Elsham Papua, Zandra Mambrasar kepada Jubi memperingati Hari Perempuan Internasional yang jatuh pada hari ini, Kamis (8/3/2018).
Menurut Zandra, kasus Asmat hanya salah satu dari sekian permasalahan krisis pangan yang terjadi di Provinsi Papua dan Papua Barat. Ancaman krisis pangan yang dihadapi keluarga-keluarga Papua, terlebih khusus perempuan yang hidup di pedesaan.
“Walau Kabupaten Asmat status KLB nya sudah dicabut, tetapi hari masih ada persoalan. Kami belum tahu situasi HAM. Hak-hak dasar mereka seperti sanitasi, lingkungan, konflik dan ancaman SDA, dan hak-hak dasar yang lain termasuk kesehatan apakah kini sudah terpenuhi atau belum. Bagaimana juga dengan daerah lainnya yang mengalami kasus gizi buruk seperti Asmat namun dengan penanganan yang tidak seheboh Asmat,” katanya.
Menurutnya membicarakan perempuan di pedesaan dan pembangunan yang berkelanjutan haruslah menjadi prioritas pembangunan di dua provinsi yang ada di Tanah Papua.
“Targetnya tentu kedaulatan pangan. Itu salah satu cara menghentikan kekerasan terhadap perempuan,” jelasnya.
Kedaulatan pangan kini menjadi perhatian penting bagi semua pemangku kepentingan. Menurut Zandra dengan Kedaulatan pangan, masyarakat pedesaan, khususnya perempuan sebagai ujung tombak pertanian di Tanah Papua memiliki kebebasan memilih apa yang ditanam, dan memiliki kuasa atas tanahnya.
“Hari ini masyarakat kampung diberi tanggung jawab untuk memenuhi ketahanan pangan nasional dengan menanam komoditi unggulan di tanah miliknya tanpa memperhatikan apa yang dia butuhkan. Tidak ada kedaulatan pangan. Masyarakat tidak diberi kebebasan, akhirnya seperti sekarang ini. Papua mengalami krisis pangan khususnya pangan lokal,” katanya.
Untuk itu, kata Zandra diperlukan sebuah laporan HAM yang mengkaji permasalahan dasar yang kemudian akan menjadi rekomendasi pembangunan pedesaan di masa yang akan datang.
Menurutnya liputan media tentang Asmat atau beberapa daerah lainnya di Papua maupun Papua Barat, sudah bisa memberikan gambaran tentang permasalahan yang terjadi.
“Tetapi itu merupakan data sekunder. Perlu ada laporan HAM resmi untuk mengetahui permasalahan secara keseluruhan agar diperoleh rekomendasi yang harus dijalankan semua pihak,” katanya.
Terpisah, Antropolog dari Universitas Cenderawasih, DR Marlina Flassy mengatakan ada faktor internal dan eksternal yang menyebabkan Papua mengalami krisis pangan, khusus pangan lokal saat ini.
“Faktor internal adalah orang Papua tidak mau mengkonsumsi pangan lokal, ketersediaan pangan lokal dalam rumah tangga Papua kurang atau tidak ada, dan pendidikan soal pangan lokal dalam rumah tangga Papua sangat minim,” katanya dalam di Museum Antropologi Uncen, Rabu (7/3/2018).
Rumah tangga, khususnya rumah tangga Papua kini tidak lagi mengkonsumsi sumber karbohidrat lokal seperti sagu, keladi dan umbi-umbian lainnya. Saat ini di Papua ketergantungan beras sangat tinggi.
“Anak-anak Papua banyak yang tidak mengenal pangan lokal lagi. Orang tua tidak memberikan pendidikan pangan lokal dalam menu sehari-hari. Sehingga saat ketersediaan beras tidak ada, hal itu kemudian menjadi masalah,” katanya.
Sedangkan faktor ekternal, kata Marlina adalah kontak budaya dengan non Papua, pergeseran pangan lokal, alih fungsi lahan, dusun untuk pembangunan, harga pangan lokal mahal, tidak adanya regulasi soal pangan lokal dan pengaruh bantuan dana segar yang turun langsung ke kampung.
“Beberapa waktu lalu saya ke kampung. Masyarakat kini tidak tanam pisang, tanam keladi. Sebab itu diperlukan sebuah regulasi untuk melindungi pangan lokal,” katanya.(*)
Sumber: www.tabloidjubi.com