Jayapura, nirmeke.com – “Tulang belulang ini saya gantung di bahu Bapa Kardinal John dan Kardinal Mafi untuk diserahkan kepada bapa Suci Paus Franciskus,” Mama Yosepha Alomang sambil menggantungkan noken bermotif Bintang Kejora dan motif Papua ke leher dua pemimpin gereja Katolik di Pasifik.
Kedua tokoh pemimpin gereja Katolik itu, yakni Uskup Agung Port Moresby, PNG, Kardinal John Ribat dan Uskup Agung Tonga dari Tonga, Kardinal Soane Patita Paini Mafi.
Momentum itu terjadi di Port Moreby, Papua Nugini, 17 April 2018 silam, usai pertemuan para uskup se-Oceania.
Adapun dua Noken yang diserahkan oleh tokoh perempuan Papua ini, berisi masalah perampasan sumber daya alam yang berujung kepada pelanggaran hak asasi manusia, perusakan iman dan moral.
Dia berharap pemimpin gereja Katolik Dunia, Paus Franciskus di Vatikan dapat membaca langsung pesan dalam Noken itu.
“Yang mulia Bapa Kardinal, gara-gara gambar bendera Papua di Noken ini, karena pulau ini kaya, kami terus ditangkap dan dibunuh,” ungkap mama, kala itu.
Ungkapan Mama Yosepha Alomang barangkali benar. Darah bisa tumpah dengan mudah gara-gara lambang itu.
Bintang Kejora tidak muncul tiba-tiba. Sebuah artikel di Tirto.id menyebut masyarakat Papua di Teluk Humboldt Holandia, (sekarang Jayapura) sudah mengibarkan bendera Bintang Fajar untuk menunjukkan eksistensi sebagai sebuah bangsa berdaulat sekitar 1944 -1945.
Secara politis, pengibaran Bintang Fajar 1 Desember 1961 juga sebagai penegasan atas kemerdekaan Papua dari Belanda. Bagi orang Papua, itu sama sakralnya seperti proklamasi kemerdekaan Indonesia yang dikumandangkan pada 17 Agustus 1945. Keduanya sama-sama melepaskan diri dari Belanda. Namun justru dari sanalah sengketa dan bencana terjadi.
Selama orde baru berkuasa, Bintang Kejora jadi lambang terlarang.
Tapi ketika Gus Dur jadi presiden, rakyat Papua diizinkan mengibarkan bendera Bintang Fajar, yang diangggapnya sebagai simbol kultural. Nama Irian Jaya pun berubah menjadi Papua.
Tapi lain presiden, lain kepala. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono bertahta, Bintang Kejora diberangus lewat Peraturan Pemerintah nomor 77 tahun 2007. Yudhoyono mulai menjabat Presiden RI pada 20 Oktober 2004.
Pada 1 Desember 2004, Filep Jacob Semuel Karma mengibarkan bendera Bintang Kejora dalam sebuah upacara di Jayapura. Dia divonis penjara selama 15 tahun pada 2005.
Tapi Bintang Kejora terus gerilya; di tembok-tembok kota, di kaos anak-anak muda. Tak terkecuali di noken-noken buah tangan mama-mama .
Oktober tahun lalu, Wali Kota Jayapura Benhur Tomi Mano sampai merasa perlu mengadakan inspeksi mendadak.
“Saya minta mereka (mama-mama) jangan perbanyak Noken Bintang Kejora,” kata Benhur Tomi Mano Kepada wartawan usai melakukan Inspeksi mendadak di Taman Imbi, Jumat, (13/10/2017).
Warisan Dunia
Di luar hal-hal di di atas, Noken Papua telah diakui sebagai Warisan Budaya Dunia Tak Benda (intangible heritage) dalam Sidang UNESCO (United Nations Educational Scientific and Cultural Organization) di Paris, Prancis, 4 Desember 2012 lalu.
Hari Suroto, peneliti di Balai Arkeologi Papua, dalam sebuah artikelnya berjudul “Melestarikan Noken, Melestarikan Lingkungan” menyebut Noken adalah tas serbaguna untuk kebutuhan membawa barang dagangan seperti buah, sayur, dan umbi-umbian ke pasar, atau sebaliknya yakni untuk berbelanja.
Bagi masyarakat pedalaman Papua, Noken biasanya digunakan untuk membawa bayi, anak babi, ubi, sayur, dan pakaian. Sedangkan bagi intelektual Papua, Noken digunakan untuk menyimpan buku atau membawa notebook ke kampus.
Noken yang merupakan tas tradisional asli buatan mama-mama (ibu-ibu) Papua ini merupakan simbol dari kesuburan dan perdamaian bagi masyarakat Papua.
Perempuan yang sudah bisa membuat noken dianggap sudah dewasa, sedangkan yang belum bisa membuat noken dianggap sebaliknya. Noken dipakai oleh mempelai perempuan suku Dani pada pesta pernikahannya.
Pembuatan noken sendiri dianggap sulit dan memakan proses yang panjang. Tanaman yang bagus menghasilkan serat yaitu melinjo, mahkota dewa dan anggrek.
Pewarnaan noken menggunakan bahan alami, Suku Yali menggunakan pewarna alami dari berbagai ekstrak buah. Karena itu menurutnya, melestarikan noken berarti melestarikan nilai budaya dan lingkungan.
Lingkungan alam tetap lestari selama pohon penghasil serat tetap dipelihara, rimbunnya hutan tetap dijaga dan penanaman kembali pohon-pohon yang ditebang. Noken sangat ramah lingkungan. Menggunakan noken, berarti mengurangi penggunaan kantung plastik.
Pemerintah Provinsi Papua mewajibkan Aparatur Sipil Negara (ASN) untuk menggunakan Noken, dua minggu sekali. ASN di Kota Jayapura, bahkan diperintahkan mengenakan Noken setiap hari.
Pemerintah Kabupaten Jayapura mencanangkan setiap hari Rabu sebagai wajib Noken bagi seluruh ASN.
“Apakah kebijakan masing-masing daerah ini efektif dan berdampak pada kelestarian noken dan meningkatnya kesejahteraan mama-mama Papua pengrajin noken?” tanya Hari Suroto.
Tapi sekelompok mama Papua perajin noken dan pernak-pernik hiasan khas Papua, sempat kecewa.
Pasalnya mereka hanya bisa menjajakan hasil karya mereka di luar stand yang disiapkan panitia pelaksana Festival Budaya Papua VI, tepatnya di halaman kantor Gubernur Papua Barat.
Padahal mereka berharap karya terbaik mereka dapat dilirik oleh ribuan peserta Konferensi Internasional Keanekaragaman Hayati, Biodiversitas, dan Ekonomi Kreatif (ICBE) maupun pengunjung pameran dalam Festival Budaya VI yang berlangsung di Manokwari, 7-10 Oktober 2018.
“Kami tidak dilibatkan. Mereka yang terlibat dan diberi stan untuk pamerkan karya mereka hanya kelompok-kelompok tertentu pemilik sanggar seni yang terdaftar ke panitia. Sementara pegiat perorangan seperti kami justru diabaikan,” ujar Mama Ani Masoka, salah satu pengrajin noken, kepada Jubi, Selasa (9/10/2018).
Sehari-hari kelompok mama Papua ini berjualan di pasar Sanggeng Manokwari. Namun berkaitan dengan adanya perhelatan internasional, mereka berinisiatif menjajakan karya warisan budaya dunia itu, meski hanya di pinggir jalan. (*)
Sumber : www.tabloidjubi.com