Jayapura, nirmeke.com – Ini adalah kisah sedih dari seorang penginjil bernama Yulianus Abarude yang melayani di Kabupaten Mamberamo. Kisah ini menunjukkan betapa buruknya pelayanan kesehatan di wilayah pedalaman Papua.
Berikut adalah kesaksian dari Ev. Yulianus:
“Ini adalah cerita tentang meninggalnya Imsos Melany Guani, anak dari saudara Titus Guani dan guru Albertina Baransano. Melany sakit di Kampung Fuau dan segera setelah itu ia dibawa ke Puskesmas di distrik Dabra. Tapi selama seminggu berada di sana, dirawat tanpa fasilitas yang memadai untuk membantunya. Ini semua karena kurangnya kemampuan pekerja kesehatan dan terbatasnya persediaan obat-obatan dan peralatan. Mereka tidak punya apa-apa! Nama Pusat Kesehatan Masyarakat hanya sekedar nama saja! Kemudian setelah kondisi Melany makin memburuk, ia dibawa dari Puskesmas Dabra ke RSUD Abepura. Satu hal yang sangat disayangkan bahwa di RSUD Abepura juga Melany tidak menerima perawatan yang baik karena menurut petugas yang bekerja di IGD, tidak ada ruang lagi karena semua ruangan sudah penuh, bahkan di IGD juga sudah penuh. Melany tidak ditolong dengan baik selama seharian penuh dan kondisi tubuhnya makin menurun. Melihat keadaan anaknya, kedua orangtua mengambil tindakan dengan membawanya ke RSUD Dok 2, Jayapura dan dirawat dalam ruang ICU. Tapi malangnya, Melany tidak tertolong lagi dan akhirnya meninggal dunia pada 1 Juni 2018.
Karena penelantaran pemerintah, Yulianus dan temannya, seorang misionaris dari Amerika Pdt Trevor Johnson menempatkan dan membayar 3 guru di kampung Fuau atas inisiatif mereka sendiri. Karena adanya dana yang disumbangkan gereja-gereja, kini ada 60 anak yang menerima pendidikan yang layak. Mereka lelah menunggu tindakan pemerintah dan mereka berinisiatif melakukan tindakan sehingga anak-anak di Fuau bisa bersekolah dan tidak terus menerus dilupakan.
Pelayanan dari 3 guru ini sangat berharga dan kami bersyukur kepada Tuhan atas kerelaan mereka melayani. Bukannya memilih mengajar di kota atau wilayah pesisir seperti di Sentani atau Jayapura, 3 guru ini siap berkorban dan hidup di pedalaman, berfokus pada anak-anak di pedalaman. Mereka sering menghadapi sakit penyakit atau kekurangan bahan persediaan. Albertina mengerti akan resiko ini tapi ia tetap memilih untuk mengajar di Fuau daripada tinggal di kota yang lebih berkembang. Dia ingin memberkati anak-anak di pedalaman dan, karena keinginan ini, ia kehilangan anaknya sendiri. Kami merasa sedih tapi juga terpukau dalam waktu bersamaan—terkagum atas pengorbanannya. Pengorbanan yang mirip seperti pengorbanan Yesus, yang meninggalkan rumahNya di surga dan memilih untuk lahir dan dibesarkan diantara mereka yang miskin dan pada akhirnya, menyerahkan nyawaNya untuk keselamatan orang lain. Hanya dengan tabiat pengorbanan Yesus inilah kita dapat menyelamatkan Papua. Mari hitung berapa harga yang harus dibayar. Tapi mari kita juga mereformasi dan memajukan pendidikan dan pelayanan kesehatan di wilayah-wilayah ini, dengan atau tanpa bantuan pemerintah, sehingga kematian sia-sia ini tidak perlu terjadi lagi.
Seorang pilot yang melayani di Papua juga mendukung kesaksian Yulianus mengenai buruknya pelayanan yang diterima di Dabra. Dia menulis, “ketika saya mengunjungi Dabra pada tahun 2016, mereka punya bangunan dan staf klinik baru (saya tidak bisa mengatakan apa-apa tentang pelatihan yang mereka terima dan peralatan yang mereka miliki) tapi selama saya ada disana klinik itu tutup karena tidak ada obat. Orang-orang setempat berkata mereka menunggu pemerintah di Kaso untuk mengirimkan mereka obat-obatan. Dari cerita yang kami dengar, ketika AKHIRNYA ADA obat-obatan, obat-obat tersebut disalahgunakan. Jadi, yah, sistem ini rusak.”
Kabar menyedihkan ini datang hanya satu bulan setelah usaha saya membeli obat-obatan di Sentani dengan dana pribadi mengalami kesulitan. Biasanya saya bisa membeli beberapa boks besar berisi obat malaria untuk dikirim ke wilayah pedalaman yang membutuhkan dimana tidak ada satupun kehadiran bantuan pemerintah, tapi kini saya hanya bisa membeli 40-50 tablet sekali beli, diatas itu, perlu resep dokter. Karena peraturan yang terlalu ketat ini saya tidak bisa membeli obat malaria sebanyak yang saya butuhkan untuk kampung-kampung di pedalaman. Tidak ada aparatur pemerintah yang ada disana untuk membantu masyarakat dan lebih parahnya lagi karena birokrasi, kini orang perseorangan pun tidak mampu menolong masyarakat dengan mengirimkan obat-obatan. Saya ingin menegaskan bahwa bahaya penyalahgunaan obat malaria tidak akan separah bahaya penelantaran yang dilakukan pemerintah dengan Tidak Mengirimkan Obat-Obatan sama sekali.
Jika saja pemerintah berfungsi dan melakukan tugas dengan baik, maka gereja-gereja dan orang-orang tidak akan merasa perlu untuk membeli boks-boks obat-obatan malaria untuk dikirim ke kampung-kampung di pedalaman dengan uang mereka sendiri. Tapi ketika peraturan ketat ini menghalangi seseorang untuk membeli obat-obatan dan Puskesmas-Puskesmas di pedalaman juga tidak punya obat dan seringkali tidak mempunyai staf, bukan hal yang sulit dimengerti mengapa banyak orang Melanesia di Indonesia yang percaya bahwa ada genosida secara perlahan dan pemusnahan etnis Melanesia adalah sesuatu yang direncanakan untuk masa depan Papua. Banyak orang yang datang bekerja keras untuk mengambil kekayaan mineral di Papua; tapi ketika datang untuk pendidikan dan kesehatan untuk keuntungan masyarakat lokal, sebagian besar sangat malas dan ceroboh. Ini sangat memalukan. Masa depan anak-anak Papua dicuri dari mereka. Kini saatnya bertobat dan merubah sistem yang rusak.
Editor : Agus Pabika