Jayapura, nirmeke.com –Bulan April sampai Oktober musim hujan kemudian dari Oktober ke April itu musim kemarau dan hal itu wajar bila indonesia terutama di Papua.
Hal tersebut di sampaikan Eka Kristina Yeimo, S. Pd, M.Si dosen FKIP program studi Geografi di Universitas Cendrawasih Jayapura kepada wartawan. Rabu, (30/5/2018).
Kata Yeimo, yang tidak wajar itu ketika hujan itu mengakibatkan masalah. Masalahnya di sini banyak terutama banjir, kenapa banjir itu bisa terjadi? Kita lihat ketika air jalan sesuai dengan jalurnya begitupun sungai juga.
Bila sungai itu di rusak, kemudian hutan itu di rusak otomatis dia akan terganggu. “Terutama di kota Jayapura ada beberapa titik yang kalau hujan itu tetap akan selalu banjir yaitu di Entrop, SMA 4, perumahan Entrop, Kotaraja, pasar Youtefa dan Organda,” ujarnya.
Lanjut Eka, kita bisa lihat kenapa wilayah atau titik-titik ini selalu kalau hujan dan selalu tergenang banjir. Kalau kita mau lihat di Entrop dulu, gunung di atasnya di sekitaran kantor walikota sekarang ada hutan atau tidak? Kalau kita mau lihat dari hutan itu sebagai fungsi untuk penahan air yang meresap dan menyimpan air di dalam tanah sudah tidak ada lagi (gundul) yang ada alang-alang jadi otomatis hujan yang turun itu langsung mengalir ke daerah-daerah yang rendah di daerah resapan yang sekarang sudah ada orang yang membuat rumah-rumah.
“Mereka yang membuat rumah di tempat resapan air ini juga tidak sadar kalau dulu tempat tersebut rawa dimana tempat menampung air dari gunung yang sekarang sudah di timbun. Kalau dari atas airnya mengalir turun ke tempatnya lalu mengalami kebanjiran itu kesalahan mereka sendiri.”
Ia menambahkan, tidak hanya di Entrop, wilayah Kotaraja pun demikian, kita bisa lihat sendiri kalau bagian atas gunung dekat jalan baru masyarakat sudah membuat kebun dan lainnya sehingga beberapa anak sungai yang mengalir ke arah Kotaraja di bawah itu ada namun sudah mulai di rusak warga sekitar dengan menebang pohon, membuat kebun di atas daerah penyangga.
“Daerah penyangga itu tempat dimana hujan turun kemudian dia meresap didalam tanah dan menyimpannya. Dia tidak langsung mengalir turun dan masalahnya di situ terutama yang di Kotaraja,” ujarnya.
Masyarakat juga sudah membangun rumah banyak lagi disitu jadi otomatis air yang mau meresap ke dalam tanah tidak ada yang tahan terpaksa mengalir.
Sama halnya juga dengan pasar Youtefa. Tempat tersebut satu DAS (Daerah Aliran Sungai) yang memang menjadi tempat atau hulunya tersambung ke kali Acai. Ini dulu aliran sungai yang sangat besar, dia bukan anak sungai tapi salah satu induk sungai yang pingirannya tidak boleh ada bangunan rumah warga atau aktivitas di atas daerah sungai karena akan berdampak sekali seperti yang terjadi sekarang, terutama banjir.
“pasar Youtefa dulu adalah rawa tempat tergenangnya air jadi tidak heran kalau sekarang ini sering banjir dan tergenang air ketika hujan turun karena itu tempatnya dan muaranya ke Engros, karena tempat tersebut rawa yang mereka timbun untuk membuat pasar dan itu salah mereka menempatkan pasar disitu,” ujar Eka.
Kita lihat kali Acai ini dulunya itu hulunya di Organda, perumnas IV dan ada kali-kali kecil seperti di dari Poltekes dan di belakang Saga Mall di atas bukit Abe Permai jadi air yang dari hulunya di perumnas IV Padang Bulan sosial dia mengalir turun sampai di Poltekes turun lagi lewat bukit Abe Permai airnya masuk ke dalam batu di mana ada lobang kecil disitu dan meresap air lama-lama masuk lalu keluar di belakang jalan masuk toko kalam kudus lalu mengalir ke kali Acai yang besar ini. Kenapa Organda biasanya banjir itu karena dia punya tempat keluarnya air kecil. Bagaimana tempat keluarnya kecil namun air atau sungai kecil-kecil di sekitaran situ banyak sehingga seketika hujan air akan turun semua melalui lubang batu kecil itu tidak bisa hanya sedikit-sedikit makanya kalau banjir paling parah di sekitaran situ rumah warga ikut terendam air.
“Kalau satu jalur kecil itu di buat terowongan besar semancam drainase untuk meloloskan air itu pasti tidak akan banjir di sekitaran Organda, perumnas IV dan Padang Bulan,” ujarnya.
kata Eka, air banjir kiriman juga biasa dari Uncen atas karena di atas gunung yang ada hanya alang-alang tidak ada hutan (pohon) untuk menyerap air hujanSumbangan dari anak-anak sungai bersatu bisa menyebabkan banjir dan airnya tergenang.
“Saya pernah penelitian di kali Acai tahun 2010 mengenai kali Acai itu perubahannya sangat drastis sesuai perintah walikota. Dulu perumahan tidak di atur baik, sampah berserakan namun sekarang ada program tanam pohon dan petugas kebersihan sudah mulai berjalan baik dan efektif hasilnya,” ujarnya.
Kata Eka, rumah-rumah yang masyarakat bangun di atas daerah resapan air ini bisa merakibat fatal terutama kebanjiran dan ini sebenarnya kesalahan dari masyarakat itu sendiri dimana kita ketahui bersama mereka bangun rumah di atas resapan air dan berikutnya perkebunan di kaki-kali gunung.
“Kalau kita lihat di ujung-ujung gunung seperti di Kamwolker, jalan baru dan sekitarnya semua masyarakat kita dari pegunungan yang berkebun di sana. Cara bercocok tanam orang gunung itu beda-beda harus tebang semua pohon-pohon di sekitar lalu membuat kebun, dan ini salah besar karena ini daerah resapan kenapa pemerintah dan dinas kehutanan tidak melarang mereka?,” tegasnya.
Kesalahan kedua kata Eka, ini di lakukan oleh pemerintah, dalam aturan sudah ada mengenai daerah di lindungi cagar alam, itu tidak boleh di sentuh atau ada aktifitas di tempat itu demikian juga di daerah resapan air.
“Kalau kita lihat di kantor walikota baru di atas yang berpas-pasan tanjakan ke Kodam jalan baru ada rumah-rumah warga yang di bangun seharusnya tidak boleh dan saya tidak tau mereka ijinnya sama siapa sehingga di ijinkan membangun di situ karena berakibat fatal mereka yang tingal di bawah. Di sini pemerintah juga salah, mereka sudah tau bahwa itu tidak boleh di bangun tapi ijin membangun (IMB) di daerah cagar alam dan daerah resapan selalu di berikan kepada masyakat melalui jalur-jalur tersembunyi,” ujarnya.
Sudah ada larangan seharusnya tidak boleh ada aktivitas dan pemerintah kota Jayapura harus tegas dalam hal ini terutama di dinas-dinas yang memberikan IMB kepada masyarakat.
Kemudian kesadaran dari setiap individu itu kurang bahwa melihat pentingnya air, dan dampak dari aktifitas di daerah cagar alam akibat dari ulah mereka tidak di pertimbangkan baik, dan ini kita bisa lihat dari latar belakang orang-orang yang bangun rumah di atas. Mereka berpendidikan atau tidak? Mereka sekolah atau tidak? Karena semuanya itu berpengaruh di situ.
Untuk melestarikan daerah-daerah resapan air pertama yang harus di lakukan adalah hukum harus dipertegas mengenai aturan perlinungan wilayah cagar alam. Daerah-daerah ini tidak boleh di bangun.
Terkait pelestarian itu harus tanam kembali pohon yang mereka tebang, yaitu reboisasi ulang tapi harus larang yang namanya perladangan berpindah (berkebun), dan stop bangun rumah di daerah resapan air dalam bentuk aktifitas apapun. Untuk menjaga agar daerah itu tetap utuh agar memberikan kehidupan kepada kita, wajib kita jaga dia (hutan).
“Contah kasus terjadi di kabupaten Sentani, para ondoafi melarang masyarakat pendatang terutama dari gunung untuk tidak berkebun, menebang pohon di kawasan cagar alam Siklop karena berdampak pada mereka yang tinggal di bawah pingiran danau Sentani dan sekitarnya sering mengalami kebanjiran akibat ulah mereka. Mereka yang melakukan ini masyarakat yang tidak memiliki kesadaran tinggi mengenai lingkungan itu,” ujarnya.
Banjir yang sering melanda dan naik ke badan jalan di Kota Jayapura, membuat jalan rusak dan mengganggu jalur lalu-lintas.
Hal tersebut dikatakan Yosin Kogoya warga Abepura ketika melihat banjir terjadi pada malam hari yang menggenangi sebagian Kota Jayapura dan menyebabkan beberapa rumah warga terendam banjir.
“Jalan besar di Jayapura ini seperti tidak punya drainase. Drainase yang dibuat di jalan-jalan besar dan jalan gang ukurannya kecil dan dangkal, wajar saja kalau air naik ke badan jalan bila hujan deras seperti ini,” kata Yosin.
Pemerintah Kota (Pemkot) Jayapura, kata dia, hendaknya segera mengambil tindakan dan bekerjasama dengan instansi-instansi terkait.
“Banjir yang sering terjadi dan melimpah ke badan jalan seperti dibiarkan, macam tidak ada penanganan serius,” katanya.
Ia menambahkan hal penting yang terlebih dahulu dilakukan adalah membuat sebuah kajian studi, tentang limpasan air hujan di Kota Jayapura secara berkala.
“Hal ini bertujuan agar ukuran drainase yang nanti dibuat, dapat disesuaikan dengan tinggi genangan air dan kecepatan debit air, hal ini terutama di jalan-jalan utama yang berada di Kota Jayapura,” harap Yosin. (*)
Editor : Admin