Spot Utama Rumput Mei Ada di Wesaput, Bukan Endemik Balim
Mei menjadi bulan yang dinanti-nanti para penikmat keindahan alam di Lembah Balim, Jayawijaya. Ya, setiap datangnya bulan Mei ada fenomena unik yang muncul di Wamena.
Itu adalah “Rumput Mei” atau masyarakat Jayawijaya menyebutnya Owasiwasika atau Lagalaga eka. Uniknya, setiap bulan Mei rumput tersebut menghasilkan warna ungu.
Awalnya, masyarakat di Lembah Baliem anggap biasa-biasa saja, namun belakangan menjadi daya tarik tersendiri setelah dieksplor oleh komunitas fotografi di Wamena. Itu terjadi tahun 2016, salah satu fotografer bernama Silvester Korwa melihat fenomena tersebut lalu mengajak beberapa temannya lalu fenomena unik ini.
“Setelah kami eksplor melalui akun media sosial facebook dengan caption Rumput Mei barulah publik semakin mengabadikan fenomena ini hingga sekarang,” jelas Stevanus Tarsi, Ketua Komunitas Agamua Sege Fotografi, Minggu (6/5) kemarin.
Pertama kali pemotretan rumput Mei ini dilakukan di Kampung Parema, Distrik Wesaput. Disini, menurut komunitas fotografi menjadi spot yang paling bagus dan cocok untuk dijadikan tempat wisata. Selain itu, spot lainnya ada di Gunung Susu dan Pasir Putih.
Awalnya, kata Tarsi masyarakat menganggap biasa-biasa saja, namun lama kelamaan menjadi daya tarik tersendiri.
“Diharapkan menjadi potensi wisata yang dapat menambah penghasilan bagi masyarakat,” harap Tarsi.
Rumput Mei Bukan Endemik Balim
Asal usul rumput ini sendiri masih menjadi teka-teki. Sebab bukan merupakan rumput asli di Lembah Balim. Yusuf H. Molama, salah satu tokoh masyarakat Wamena mengungkapkan, rumput ini mulai tampak sekitar tahun 70-80 an.
“Saat kami kecil tidak ada rumput ini. Kami tidak melihat rumput (Mei) ini. Yang saya lihat, rumput ini mulai ada sekitar tahun 70 atau 80-an,” ungkap Molama saat ditemui di Kampung Wesagenya, Distrik Wesaput, Wamena, Jumat (6/5) kemarin.
Molama menduga, rumput ini dibawa oleh orang Belanda. Hanya saja, dia tidak bisa memastikannya, namun yang jelas rumput Mei bukanlah tumbuhan asli Lembah Balim.
Dugaan tokoh masyarakat ini karena saat orang Belanda masuk ke lembah dan memulai pos pemerintahan di Distrik Wesaput. Dan dari sanalah rumput tersebut tumbuh dan menyebar.
“Memang ada beberapa rumput yang saya lihat bukan asli di lembah, namun tumbuh subur di sini,” katanya.
Saat tumbuh dan menyebar, kata Yusuf masyarakat mulai memberikan nama. Ada yang menyebutnya lagalaga eka, adapula owasi-wasika.
“Dan ternyata banyak kegunaannya. Biasanya masyarakat menggunakannya untuk alas di kandang babi, penutup/atap pagar. Kadang saat daun masih hijau biasa dipotong untuk penutup masakan bakar batu,” jelas Molama.
Uniknya, rumput ini dipercaya obat untuk ternak babi yang sakit. “Kalau babi sakit, biasanya kami memotong rumput ini lalu memasukan di kandang,” pungkasnya.
Pastor Lishout, misionaris pertama yang sangat mendalami kebudayaan masyarakat Lembah Balim mengungkapkan, banyak tumbuhan yang dulu tidak ada di Lembah Baliem namun tumbuh, antara lain putri malu, dan rumput berwarna ungu ini.
“Mungkin penyebarannya disebabkan oleh pesawat-pesawat kecil (Cesna)yang mendarat di berbagai lapangan terbang. Rumput merah ini menurut saya bisa dibawa oleh roda pesawat,” tuturnya.
Ia mengatakan, rumput ini bukan endemik asli Balim, tetapi dari luar dan mulai ada sekitar tahun 70-an
Nama jenis rumput sendiri, ia tak tahu. Menurutnya, jika di Balim, biasanya masyarakat mengenali nama rumput yang ada namun rumput merah ini tidak ada namannya.
“Rumput merah ini saya juga mengamati tetapi namanya tidak tahu, hanya memang menggunakan musim di bulan Mei saja dan saya tidak tahu juga bisa begitu,” ujarnya.
Sementara itu, Peneliti Botani Pusat Penelitian Biologi LIPI Bogor, Lina Djuswara menuturkan, keberadaan rumput Mei itu berhubungan dengan musim bunga.
“Memang musim bunga setelah beberapa tahun eksplorasi di Papua memang itu yang paling banyak berbunga itu bulan April, Mei, Juni. Alasanya, berhubungan dari musim hujan yang temperaturnya relatif rendah kemudian tiba-tiba relatif lebih hangat udaranya, sehingga frekuensi dari hujan semakin rendah kemudian temperatur semakin tinggi,” jelasnya.
Hal ini, kata Djuswara menstimulasi tumbuhan-tumbuhan untuk berbunga itu sebetulnya alasannya. Rumput mei itu hanya salah satunya dari sekian banyak tumbuhan yang ada, dan itu fenomena yang cukup umum terjadi pada tumbuhan.
“Jenisnya rumput-rumputan, sukunya suku poase. Kebetulan jika sudah turun hujan dia temperatur memanas biasanya langsung berbunga,” tuturnya.
Ia mengatakan, kemungkinan ada proses dormansi dalam arti memang tidak atau karakteristik dari rumputnya sendiri, sehingga belum ada penelitian khusus yang mengarah kenapa hanya berbunga sekali dalam setahun.
“Semuanya merah dan ungu jenisnya sama semua, di Papua ada di daerah dekat Timika. Spesifiknya memang di dataran tinggi rata-rata, dan setelah Mei rumput kembali kering dan kembali ke warna aslinya dimana kemungkinan kekurangan air, karena udara semakin panas sehingga sulit untuk berbunga,” pungkasnya.*
Laporan: tim Papuaview.com