Terkadang manusia tak menyadari bahwa ada diskriminasi antara sesama manusia. Pangung olaraga sepak bola bisa menjadi ruang dimana teriakan-teriakan bernada rasial keluar ketika emosi meletak-ledak. Disitulah kelihatan dimana masih ada kebencian dan saling menghasut guna mengundang konflik dan pertikaian antara saudara sesama bangsa.
Tak heran kalau pejuang Hak Asasi Manusia (HAM) pelawan diskriminasi seperti Marthin Luter King di Amerika Serikat menuturkan masih punya mimpi untuk semua pihak saling bergandengan tangan. Begitu pula Nelson Mandela masih memaafkan pemimpin apartheid di Afrika Selatan. Bahkan Nelson Mandela dalam rekonsiliasi disana mengatakan memaafkan boleh saja asalkan proses hukum tetap berlangsung.
Tokoh-tokoh kulit hitam dari Afrika telah memberikan ajaran agar jangan selalu membalas ujaran kebencian terhadap sesama. Apalagi di dunia modern dan jaman now, semua informasi datang dalam hand phone android tanpa seleksi dan tinggal memençet saja.
Oleh karena itu, semua puhak mulai bangkit dan mengingatkan agar jangan percaya berita Hoax maupun ujaran kebencian. Baliklah berjabat tangan dan saling merangkul menatap masa depan. Walau sulit mendaki gunung kehidupan, maka ada harapan di balik itu. Tolak semua perlakuan diskriminasi di dunia dan di indonesia khususnya di tanah Papua.
Belajar dari Nelson Mandela yang memiliki sikap pemaaf luar biasa, bahkan selalu berjuang dengan damai. Tak heran kalau sistemnya yang di kumandang forgive but don’t forget yang menjadi pelajaran dunia untuk rekonsiliasi.
Diskriminasi di tanah Papua, jika melihat fakta di kalangan masyarakat Papua, masih ada diskriminasi rasial. Tidak hanya antara non Papua dan orang asli Papua, juga antar sesama orang asli Papua sendiri, dari wilayah tertentu dengan wilayah lain. Hingga dalam politik dan sistem pemerintahan juga sama diskriminasi itu terus di bawah.
Di Papua Bhineka Tunggal Ika hanya di atas kertas. Orang Asli Papua (OAP) dan non Papua harus menyadari ini. Bagaimana meminimalisir diskriminasi, hingga semboyan berbeda-beda tapi satu, terwujud di Papua.
Fakta hingga kini masih terjadi diskriminasi di Papua. Tidak hanya di kalangan masyarakat, juga dalam konteks pembangunan hingga pelayanan publik. Dalam konteks pembangunan selalu diawali dari kota, bukan dari kampung ke distrik. Jika pembangunan dari kota yang menikmati adalah kelompok tertentu sementara masyarakat di kampung kesulitan mendapatkan air bersih, penerangan, pelayanan kesehatan hingga pendidikan.
Penegakan hukum juga masih diskriminasi. Tergantung apakah pelaku punya kekuatan atau tidak. Kalau punya kekuatan, penegak hukum juga masih lihat situasi dan masih mikir-mikir sehingga kampanye anti diskriminasi dinilai masih pada tataran sekeder bicara. Faktanya masih jauh, sulit diwujudkan. (*)