Oleh : Benyamin Lagowan
Prakata
Setelah sekian tahun Uncen berada dan bercongkol di atas tanah Papua sebagai lembaga pendidikan tinggi dan yang tertua, terkemuka dengan status independen, kini nampaknya lembaga ini sedang dalam fase kritis. Kritis itu karena lembaga ini sedang diarahkan pada hal-hal yang berbau kepentingan individual, kelompok dan partai.
Kami sebagai mahasiswa Uncen melihat Uncen di bawah kepemimpinan Rektor yang baru, bukan semakin baik tapi malah tetap sama bahkan kian memburuk dalam aspek tertentu. Ini mengindikasikan bahwa Lembaga Uncen ini semakin kehilangan roh jika terus dihantui oleh bayang-bayang kepentingan yang sarat di lembaga ini.
Oleh sebab itu, tulisan ini berupaya mengungkap beberapa fakta menarik sepanjang setengah tahun ini setelah uncen melakukan restrukturisasi kepemimpinannya.
Fakta Mencengangkan Uncen
Berbagai kebijakan Rektor Uncen yang baru, Dr. Ir.Apolo Safanpo, ST. MT kian membuat mahasiswa dan rakyat Papua, khususnya para korban pelanggaran HAM semakin kesesakan. Hal itu disebabkan oleh: pertama, Uncen secara nyata sudah dan sedang digiring ke ranah politik praktis dan kedua, Uncen mulai menjalin hubungan intim dengan militer (Polda Papua) serta yang ketiga, ada semacam pengabaian terhadap lembaga kemahasiswaan Bem Uncen secara perlahan.
Ketiga hal ini bisa kita katakan sebagai keadaan yang terburuk yang pernah ada daripada rektor-rektor terdahulu. Walaupun kepemimpinan rektor pasca Agus Kafiar dan Wospakrik serta Kambuaya sangat dekat dengan mahasiswa dan anti militer, beberapa pemerintahan rektor sesudahnya misalnya pada kepemimpinan, alm Prof. Karel Sesa hingga Dr. Onesimus Sahuleka masih tidak ada politisasi lembaga dan deal-deal bersama Polda ataupun militer secara de yure.
Kini Uncen di bawah pemerintahan Rektor Apolo, Uncen terkesan sedang diarahkan kepada kepentingan politik praktis ketimbang hal-hal yang berbau profesionalisme.
Menurut dugaan kami, ini sebagai efek naiknya Pak Apolo sebagai Rektor Uncen yang didukung oleh kalangan nasionalis NKRI yang sudah bercongkol lama di Uncen dan Dikti sehingga tampaknya semua kebijakan dan gelagat rektor ini kian tidak memiliki “common sense” dalam memperhatikan masalah-masalah besar di Papua.
Sebagai anak negeri yang sudah lama hidup, besar dan lahir diatas penderitaan akibat kekerasan militer, pak Apolo seakan-akan bertindak tidak memiliki kepekaan terhadap realitas psikologis rakyat Papua dengan meneken Mou bersama Polda Papua yang selama ini menjadi pembunuh berdarah dingin di Papua.
Akibatnya wajah Uncen kini tidak lebih dari lembaga abal-abal yang tidak memiliki arah dan posisi yang jelas sebagai lembaga pendidikan. Organ pengelolanya kini memanfaatkan Uncen sebagai kursi empuk untuk mengejar rupiah, nama baik, popularitas dan koneksi investasi politik di daerah dan nasional. Dugaan ini kian jelas dengan adanya kunjungan AHY pada beberapa bulan lalu ke FT Uncen.
Selain itu, intensnya Uncen dalam memprakarsai dan mengimplementasikan Inpres No. 7 Tahun 2017 tentang percepatan pembangunan Papua menunjukan bahwa peran Uncen kian diarahkan selayaknya SKPDnya pemerintah pusat dan Daerah. Padahal Uncen ini merupakan lembaga pendidikan Tinggi yang domainnya berada pada Pendidikan, Penelitian dan Pengabdian masyarakat. Sangat jelas tidak ada yang namanya peran politik dalam Tridharma PT.
Penutup
Jika oknum-oknum di Uncen terus-terusan melakukan kong kalikong bersama Militer dan politik praksis yang tidak pro rakyat Papua, dan kian menyengsarakan rakyat, maka sebaiknya segera berbenah. Jika tidak organ lembaga Uncen akan melihat bagaimana amarah mahasiswa bersuara untuk membuat anda meninggalkan lembaga ini.
Lembaga Uncen ini bukan milik pribadi, bukan lembaga politik, maka bawalah lembaga ini sesuai esensinya. Lembaga ini panas karena menjadi awal “illegal standing” pembunuhan ratusan juta jiwa rakyat Papua, berhati-hatilah yang mendapatkan kepercayaan untuk mengurusinya. Sebab Ia adalah awal dan akhir bagi orang Papua, rakyat Papua.*