Jayapura, nirmeke.com – Tidak seperti di kelas pada umumnya yang selalu tegang dan tenang, bermain dan belajar menjadi pola belajar sekelompok anak. Mereka menyatu dengan alam sekitar. Canda dan tawa mereka sontak pecah di tengah-tengah proses belajar. Keceriaan mereka seringkali membuat guru harus berhenti sejenak untuk tertawa bersama murid-muridnya.
Mereka adalah anak-anak dari kelompok belajar Gerakan Papua Mengajar (GPM) yang berada di Kota Jayapura, Provinsi Papua, yang didirikan 20 Februari 2013. GPM digagas Yohana Pulalo, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) di Pemerintah Provinsi Papua.
Seorang murid GPM adalah Elvius Wakur yang berumur 13 tahun. Ia tinggal di Buper dan bergabung dengan kelompok belajar GPM karena menganggap belajar itu penting.
“Biasanya kami belajar menggambar, menghitung, mendengar dongeng rakyat, membaca buku, serta menulis dan membaca. Saya lebih senang membaca buku dongeng, belajar menghitung dan baca buku, serta belajar bersama,” ujar siswa yang duduk di kelas VI-A SMP YPPK Padang Bulan tersebut.
Elvius Wakur adalah anak dari Westen Wakur yang berdomisili di Buper, Waena. Untuk mencapai sekolahnya Elvius harus naik taxi dari Expo menuju Padang Bulan, sesekali juga nebeng bersama kakaknya yang belajar di STM Kotaraja.
Ketua Gerakan Papua Mengajar (GPM), Aleks Giyai, mengatakan organisasi tersebut didirikan atas inisiatif Yohana Pulalo. Dia mengumpulkan anggota GPM sekarang karena merasa penting membuat kegiatan mengajar.
“Lalu digelarlah diskusi pertama yang dihadiri Agus Kadepa, Andi Tangihuma, Aleks Giyai, Alfonsa Wayap, Hengky Yeimo, dan Arnold Belau. Setelah itu kegiatan dijalankan,” katanya kepada Jubi, Senin, 19 Februari 2018.
Sebelumnya, lanjutnya, aktivitas mengumpulkan anak-anak dilakukan Pulalo. Kemudian anggota lainnya merasa penting untuk terlibat mengajar.
Terbentuknya GPM, katanya, terinspirasi dari Bumi Perkemahan (Buper) Waena. Pulalo ketika ia melihat anak-anak dari mama-mama Papua yang berjualan di Expo, Waena.
“Anak-anak banyak di Buper sehingga ia mengumpulkan anak-anak tersebut dan mengajar mereka tiap sore sendirian selama dua bulan sehingga teman-teman lain juga tergerak untuk sama-sama mendorong kelompok belajar ini,” ujarnya.
Kehadiran GPM penting karena anak-anak korban perkembangan kota, karena orang tua mereka mencari nafkah dari pagi sampai sore dengan mengorbankan anak-anak mereka. Anak-anak mereka tidak dididik atau dinasihati secara baik.
Faktor berikutnya di seluruh Tanah Papua, terkhusus di Jayapura, anak-anak banyak yang terlantar akibat orang tua yang tidak memperhatikan dengan baik.
“Kita memperhatikan orang-orang pinggir kota karena mereka dianggap terpinggrkan dari kemajuan pembangunan,” katanya.
Ada 12 relawan yang terlibat di GPM, namun yang aktif mengajar hanya lima orang. GPM mengajar di dua tempat yaitu di Buper dan di sebuah kedai di Kotaraja. Dalam seminggu kegiatan mengajar dilakukan tiga hari di Buper dan tiga hari di kedai Kotaraja.
Anak-anak dibagi dalam dua kelompok dengan tiga aktivitas belajar. Tingkat satu untuk mereka yang benar-benar belum bisa membaca dan menulis. Tingkat ini diajar membaca, berhitung, menggambar, serta pengenalan huruf dan angka.
Tingkat dua diajar berhitung, memperlancar membaca, dan menulis yang masih putus-putus. Sedangkan tingkat tiga atau tingkat atas adalah anak-anak yang sudah bisa membaca. Anak-anak tingkat tiga ini diberikan arahan dan bacaan novel, cerita rakyat, dan buku pengetahuan.
Tingkat tiga umumnya berada di bangku SMP dan SD kelas empat ke atas. Tingkat dua anak-anak yang di kelas formal di kelas 1 hingga 3 SD. Sedangkan tingkat satu mereka yang belum sekolah dan kelas 1 SD yang belum bisa membaca. Kelas belajar buka pukul 15.30 WP hingga pukul 18.00 WP.
“Sejauh ini anak-anak yang terlibat dalam kelompok belajar GPM di Buper lebih 20 anak dan di Kotaraja 16 anak,” katanya.
Giyai mengatakan, anak-anak yang diajar tidak semuanya murid sekolah formal. Tetapi juga ada yang tidak sekolah karena umur sudah lewat. GPM mengajar anak-anak usia 6 tahun hingga 17 tahun.
Ia mengatakan keinginan GPM dengan kegiatan belajar adalah membangun pendidikan yang berkonteks. Kemudian supaya Papua tidak buta aksara pada generasinya agar generasi ini ke depan bisa menjadi pemimpin dan tuan di negerinya sendiri.
“Perkembangan di GPM sangat signifikan karena sejak kami dirikan GPM pada 2013 sampai 2018 sudah lima tahun,” katanya.
Indikatornya, peserta sudah ada yang bisa membaca dan berhitung. Bahkan juga ada yang mendapat juara dua di kelasnya.
“Tantangan kami selama ini sebagian orang tua ada yang belum percaya kami sebagai kelompok relawan yang benar-benar mengajar,” ujarnya.
Aktivis GPM, Tresia Tekege, mengaku alasan bergabung di kelompok belajar karena ia ingin berbagi apa yang ia punya untuk adik-adik.
“Harapan saya kelak mereka akan berkembang memberikan yang terbaik untuk negerinya dan menjadi tuan atas Negeri Mutiara Hitam yang kaya akan susu dan madu,” katanya.
Mewakili orang tua murid, Pendeta Welkiles Kogoya, mengapresiasi kegiatan GPM.
“Awalnya kami tidak percaya dengan kehadiran mereka untuk mengajar anak-anak kami, namun ketekunan selama lima tahun ini membuat kami percaya mereka benar-benar mengajar dan mendidik anak-anak kami,” ujarnya.(*)
Editor : Admin