Oleh: Benyamin Lagowan*
1. PROLOG
Pada tahun 2014-2017 ini Kita digemparkan dengan rentetan Kejadian Luar Biasa (KLB) yang menimpa ratusan balita-generasi muda papua. Banyak pihak bertanya ada apa sesungguhnya di Papua. Kita diperhadapkan pada masalah kemanusiaan yang berbeda dari sebelumnya. Bukan cuma karena pelanggaran HAM akibat kekerasan militer, namun ini diluar dari sektor itu.
Barangkali peristiwa-peristiwa ini adalah akibat kunjungan Duta Besar PBB bidang Kesehatan pada 2016 lalu yang datang bukan sesuai aspirasi rakyat Papua? Atau mungkin ini rangkaian kejadian yang sebenarnya sudah sejak lama terjadi namun baru diangkat ke permukaan sebagai dampak Pilpres dan Pilgub Papua? Entahlah. Namun, intinya ini persoalan serius yang musti disikapi secara kolektif dengan cepat sebelum berkembang luas dan mengorbankan banyak balita yang tidak bersalah.
Berbicara tentang problematika sistem Kesehatan Papua, tentu sangatlah rumit. Serumit masalah pelanggaran HAM dan politik-ideologinya. Sebab mereka saling terkait antara dimensi pelanggaran HAM, kesehatan dan dimensi Politik. Bahkan lebih dari itu, semua sektor saling berkorelasi dan mempengaruhi. Kerumitan itu, selain karena alasan klasik: geografis yang sulit, juga karena kurangnya tenaga SDM Kesehatan, fasilitas Kesehatan yang tidak memadai, hingga pelayanan kesehatan yang buruk dan metodenya yang kurang tepat.
Yang menjadi pertanyaan adalah; sudah berapa tahun Papua berada dalam bingkai NKRI ? Sudah 55 tahun? Ya, jika dihitung sejak 1963 yang dikenal sebagai tahun integrasi. Apakah itu waktu yang singkat? Tentu tidak. Itu waktu yang sangat panjang. Jika Kita asumsikan waktu ini dengan usia seseorang, sudah memasuki senja atau usia paruh baya. Berarti sejak Papua diintegrasi, telah ada satu generasi Papua yang lahir dan akan mati sebagai warga tulen NKRI. Itu artinya apa? Berarti NKRI sudah lama menjadikan Papua sebagai salah satu provinsinya. Namun, mengapa semua sektor di Papua tidak mampu memuaskan orang Papua atau menjadikan orang Papua sebagai “Tuan di atas negerinya sendiri”? Bahkan tidak pernah berhasil meredam segala fakta kegagalan pembangunan Papua serta yang paling ekstrim adalah kegagalan untuk meredam aspirasi Papua merdeka.
2. Masalah Sistemik Kesehatan Papua
Kembali pada topik di atas. Menurut hemat saya, masalah mendasar tentang kesehatan Papua terbagi dalam 4 hal, yakni: Minimnya tenaga SDM kesehatan, minimnya Fasilitas Kesehatan, rendahnya kualitas dan komitmen pelayanan kesehatan dari petugas medis, serta pendekatan pelayanan yang kurang tepat. Keempat faktor ini diduga sangat erat kaitannya dengan faktor politis awal penguasaan wilayah Papua dengan mengabaikan sisi manusia Papua.
Terbukti melalui buruknya sistem pendidikan, kesehatan serta monopoli-diskriminasi dalam aspek ekonomi, sosial dan kebudayaan orang Papua. Bahkan sejak orde baru Papua secara sistemik telah “dianak-tirikan” dari fokus perhatian pembangunan yang sentralistik hanya dari/di Jakarta. Kondisi ini telah melahirkan perasaan anti-Indonesia dari hampir mayoritas rakyat Papua hingga selalu berujung pada aspirasi kemerdekaan bagi rakyat Papua hingga kini.
a. Minimnya Tenaga SDM Kesehatan
Menurut Data Dinkes Papua (2011) di Papua hanya terdapat 316 dokter umum, 85 dokter spesialis, 36 dokter gigi, 1.309 bidan, 4.266 perawat dan 279 tenaga farmasi [1]. Sedangkan pada tahun 2017 meningkat menjadi 251 dokter spesialis, 774 dokter umum, 101 dokter gigi, tenaga kesehatan lain 789, dan farmasi 528 orang [2]. Jumlah ini tentu sangat terbatas, sementara jumlah populasi penduduk Papua sudah mencapai 3,5 juta jiwa lebih. Sesuai aturan WHO, rasio ideal antara dokter-penduduk adalah 40: 100.000 jiwa.
Sementara di Papua baru mencapai angka 25:100.000 jiwa. Kita membutuhkan 1.200 an dokter untuk mencapai rasio ideal tadi. Secara nasional, masih rendah dengan terpaut 5 angka dari Papua yakni 20:100.000 penduduk. Artinya kebutuhan tenaga dokter secara nasional pun masih kurang. Dilihat dari segi jumlah tenaga medis secara nasional, Papua termasuk dalam provinsi yang sangat minim akan jumlah tenaga kesehatan [3].
Minimnya jumlah SDM Kesehatan ini menurut mantan Menteri Kesehatan, Nafsia Mboi (2013) disebabkan oleh ketimpangan penyebaran dan mutu atau kualitas dokternya. Sedangkan menurut Aloysius Giay (2015) hal ini disebabkan oleh: belum terpenuhinya pengembangan dan pemberdayaan SDM kesehatan, lemahnya perencanaan kebijakan dan program SDM kesehatan, belum adanya dukungan sistem informasi SDM kesehatan yang memadai, belum sinkronnya pemetaan kebutuhan tenaga ahli kesehatan dan distribusinya, pendayagunaan SDM kesehatan dan pemerataan ahli esensial bidang kesehatan masih kurang serta pengembangan karier, sistem penghargaan dan sanksi bagi SDM kesehatan yang belum diberlakukan optimal.
Dalam konteks keterbatasan SDM kesehatan ini, menurut saya juga disebabkan oleh; rendahnya mutu dan kualitas lembaga pendidikan kesehatan di Papua yang berakibat banyaknya SDM kesehatan yang tidak terserap di sektor pelayanan kesehatan. Selain itu, jika diamati barangkali disebabkan pula oleh banyaknya praktisi kesehatan yang berkiprah di dunia politik, wiraswasta, perbankan, hingga LSM-LSM kesehatan maupun non kesehatan lainya.
b. Minimnya Fasilitas Kesehatan (Faskes)
Ketersediaan fasilitas kesehatan di Papua masih menjadi masalah serius. Yang dimaksud fasilitas kesehatan ini misalnya; tersedianya Rumah Sakit standar, Puskesmas, Polindes hingga Pustu yang merata di seluruh wilayah tanah Papua. Selain itu hal lainya menyangkut ada-tidaknya stok obat di daerah-daerah. Secara statistik di Papua terdapat 360 puskesmas, 29 Rumah Sakit pada tahun 2011.
Terdapat beberapa kabupaten yang hingga tahun 2015 silam belum memiliki Rumah sakit, misalnya; Kabupaten Dogiay, Deiyai, Waropen, Intan Jaya, Puncak, Nduga, Tolikara, Mamberamo Tengah, Yalimo dan Sarmi. Sedangkan pada tahun 2017 ini jumlah puskesmas telah meningkat menjadi 194 dan total RS sudah mencapai 36 RS, 394 Puskesmas, 3.085 Posyandu, 967 Polindes yang tersebar di seluruh wilayah Papua.
Dari jumlah ini yang masih menjadi persoalan adalah ada-tidaknya fasilitas yang memadai dalam meningkatkan mutu dan efektifitas pelayanan kesehatan kepada masyarakat secara optimal. Sebab banyak Puskesmas yang ditemukan kosong, akibat ditinggalkan oleh petugasnya. Begitupun RS. Sudah ada bangunan, namun seringkali didapatkan tidak adanya fasilitas operasional dasar sebagai kriteria standar pelayanan minimun.
c. Rendahnya Kualitas dan Komitmen Pelayanan Kesehatan Petugas Medis
Menurut Tahi G Butar-butar dkk (2014) untuk mewujudkan Pelayanan kesehatan yang prima para petuas kesehatan perlu memosisikan ‘kepuasan pasien’ sebagai yang utama dengan meningkatkan pelayanan kesehatan [4]. Walaupun begitu, nampaknya di Papua oleh sebagian masyarakat pelayanan kesehatan (yankes) masih dinilai negatif. Persepsi ini dikembangkan oleh orang Papua terhadap petugas medis di Papua, baik dokter, perawat, bidan dll. Hal ini menyangkut kualitas dan komitmen menjadi petugas medis yang diwujudkan lewat kerja-kerja profesi.
Dalam banyak kasus kelalaian petugas medis selalu mengundang banyak tanda tanya tentang kualitas dan komitmen (profesionalisme) mereka. Misalnya, soal ketidakramahan petugas medis terhadap pasien saat pelayanan atau soal dugaan permainan bisnis antara petugas medis di RS dengan pengusaha Apotek.
Dalam pelayanan kesehatan di Papua selalu ada saja ketidakpuasan Pasien Papua terhadap kualitas pelayanan petugas medis tadi, apalagi terhadap para pendatang. Maka, tidak jarang muncul kecurigaan yang berdampak pada ketidakpercayaan. Ini erat dengan rumitnya sektor kesehatan yang berkorelasi dengan politik. Saya biasa melihat ada semacam masalah dalam komitmen pelayanan medis yang sesungguhnya universal dan tidak boleh dinodai oleh aspek apapun. Namun, di Papua tampak berbeda. Komitmen pelayanan medis sebagaimana sumpah profesi dalam konteks Papua masih mungkin diragukan.
Hal ini berkaitan dengan komitmen pelayanan yang rendah dan tidak ikhlas. Ini berkaitan pula dengan pelayanan dengan hati atau tidak; pelayanan yang sama terhadap semua manusia tanpa pandang ras, agama, suku dan ideologi. Bagian ini patut dipertentangkan dalam konteks yankes di Papua. Sebab sewaktu-waktu kita dapat melihat bahwa aroma diskriminasi dalam pelayanan medis itu nyata, bahkan hampir sehari-hari terjadi di seluruh wilayah Papua.
d. Pendekatan Pelayanan Kesehatan Yang Kurang Tepat
Kesalahan pendekatan yang dimaksud disini adalah pendekatan yang lebih kepada pelayanan kuratif (kuratif action). Model penggunaan pendekatan ini sangat tidak tepat jika diterapkan di Papua karena orang Papua rentan terhadap hal-hal baru yang dapat bersifat merusak kehidupan dan kesehatan mereka. Artinya melihat pengetahuan orang Papua yang masih terbatas karena adanya lompatan peradaban yang dialami, maka seharusnya pendekatan pelayanan yang diutamakan pemerintah Indonesia adalah pendekatan pencegahan (preventif action) bukan menggunakan pendekatan kuratif.
Selama ini orang Papua tidak diberikan sosialisasi yang intensif bahkan masih jauh dari cukup. Dampaknya banyak orang Papua yang menderita beragam penyakit yang berujung meninggal dunia. Para petugas medis semestinya mengutamakan pelayanan preventif guna memberitahukan masyarakat Papua akan dampak sebuah tindakan, sebuah budaya, dan pilihan baru atas kehendak bebas mereka terhadap apa saja (berkaitan dengan makanan, minuman, maupun pekerjaannya), sehingga atas pertimbangan untung-rugi, suatu faktor risiko gangguan kesehatan dapat dihindari.
Penggunaan pola ‘preventif action’ sebagaimana pendekatan yang dipakai pada zaman misionaris dan pemerintah Belanda dapat menjadi rujukan yang baik, sehingga kualitas hidup orang Papua dan eksistensinya dapat terjamin. Lebih jauh rakyat dapat hidup sehat dengan terhindar dari semua sakit maupun penyakit.
3. KESIMPULAN
Adanya pelayanan kesehatan yang prima (fasilitas dan SDM kesehatan yang memadai, komitmen pelayanan bagi kemanusiaan yang utuh, dan pendekatan pelayanan yang tepat sehingga hidup masyarakat sehat, cerdas dan sejahtera) bagi rakyat Papua akan menjadi suatu indikasi keberhasilan negara yang memenuhi hak-hak warga negaranya dalam bidang kesehatan. Namun, jika Kita masih disuguhi fakta buruknya pelayanan kesehatan selama bertahun-tahun (kronik), maka bukankah itu sebuah indikasi jika suatu negara melalui perangkat pemerintah pusat-daerah sedang dan‘sudah’ gagal? Jika demikan,bukankah sesungguhnya tidak perlu ada alasan bagi pemerintah Indonesia mempertahankan wilayah Papua sebagai bagian integralnya? *
*Penulis adalah Mahasiswa Profesi Pendidikan Dokter di Fakultas Kedokteran Universitas Cenderawasih.
Daftar Pustaka
1. http://www.tribunnews.com/nasional/2018/01/17/kasus-campak-dan-gizi-buruk-di-asmat-iniimbauan-jusuf-kalla-untuk-pemda-setempat
2. Giyai, A. 2015. Melawan Badai Kepunahan, Gebrakan Papua Sehat Menuju Papua Bangkit
Mandiri dan Sejahtera. Jayapura: Pakar Papua Pustaka.
3. Badan Pusat Statistik. 2017.Provinsi Papua Dalam Angka:Papua Province In Figure. CV.Mitra Karya Pura-Jayapura, Provinsi Papua.
4. Anonim
5. Butar-Butar T.G. 2013 et all. Kepuasan Pasien RSUD di Tanah Papua. YPKM, Jayapura-Papua