Jayapura, nirmeke.com – Miris melibat penampilan para perempuan modis datang ke gereja dan merayakan Ekaristi. Kerap kali dijumpai, mereka terkesan bebas dalam berbusana. Sehingga, setiap orang bisa sesuka hati mengenakan pakaian apapun, termasuk di tempat yang lazim kita sebut sebagai rumah Tuhan yang suci.
Perkembangan trend dunia mode tidak bisa dibendung. Beranekaragam trend mode dengan muda masuk dan menjelajah ke berbagai belahan dunia, tak terkecuali Indonesia. Namun, pengertian trend tidak berarti sebuah kebebasan yang layak di kenakan dimanapun. Ada batasan yang memagari penampilan, khususnya untuk kaum perempuan yang merupakan ujung tombak busana.
ETIKA BERBUSANA
Etika berbusana dimulai dari rumah. Sadar atau tidak, sebuah rumah tangga sangat terpengaruh dari cara seorang ibu berbusana. Ibu adalah cermin keluarganya di tengah publik. Misalkan, jika kita melihat seorang remaja putri berpakaian tidak sopan ke gereja, kerap kita bertanya, ” siapa ibu putri tersebut?” Nah, kalau yang melakukan hal serupa adalah ibu-ibu, siapa yang kita salahkan?
Trend busana memberikan pengetahuan setara pemahaman tentang tata cara dan membeli busana yang tepat untuk dipakai pada suatu kesempatan. Tentu ada banyak pertimbangan seorang perempuan memilih cara berbusana. Salah satunya ‘mencuri’ perhatian orang. Namun, gereja bukan tempat yang pantas untuk menerapkan tujuan tersebut!
Di tengah gempuran aneka mode, mulai dari yang sopan sampai modern – bahkan eksotis – perempuan masa kini pun berebut posisi. Ada harapan yang ingin ditonjolkan sesuai keinginan. Namun, harapan tersebut tidak dibarengi dengan etika. Sehingga, bukan mendongkrak pamornya, tetapi justru merendahkan martabatnya sendiri.
Perempuan adalah makluk Tuhan yang terindah. Dia menciptakan perempuan dengan lekuk tubuh memukau. Menjadi perempuan adalah soal kelahiran, tetapi menjadi seorang perempuan bijaksana dan beretika adalah pilihan. Masih sangat banyak pilihan berbusana yang bisa menjadi cermin diri seorang perempuan yang sopan, bermoral, dan tahu diri. Cara berbusana kita saat beribadah adalah sebuah penghormatan untuk Tuhan.
TIDAK TEGAS
Hingga kini, (belum semua) Gereja Katolik Indonesia membuat tata tertib berbusana yang sopan saat mengikuti Ekaristi. Aturan tersebut rasanya belum ada di sejumlah paroki. Alhasil, tata tertib berbusana belum tegas diterapkan. Ketidakjelasan dan ketidaktegasan ini lantas berlarut-larut hingga menimbulkan kesan gereja tak ada bedanya seperti area fashion show.
Tidak bermaksud menyudukkan siapa pun, memang belum semua umat sadar, mengerti dan memahami hal ini tanpa ada aturan baku. Oleh karena itu, setiap paroki harus membuat aturan jelas dan tegas sebagai sarana menanamkan, menimbuhkan dan mengembangkan kesadaran berbusana setiap umat. Sehingga, tidak tampak lagi pemandangan paha, punggung dan dada di tempat yang kita sakralkan.
Kadangkala umat yang tampil seronok di gereja adalah kelas atas, mapan, mengerti mode dan memiliki kedudukan terhormat dalam masyarakat atau umat. Orang yang memiliki materi atau ekonomi terbatas dan ‘pas-pasan’ tentu memiliki pilihan yang minim. Namun, orang yang berkelimpahan akan memiliki begitu banyak pilihan. Aneka ragam pilihan trend mode justru membuat kaum perempuan dari kalangan mapan terjebak dalam mode yang salah. Perempuan pun terjebak dalam trend mode yang salah tempat.
Wanita Katolik Repulik Indonesia (WKRI) sebagai wadah pergerakan perempuan katolik perlu membangun kesadaran untuk kaumnya. Masalah busana di gereja jangan lagi dipandang sebelah mata. Sebab hari demi hari semakin memberi pemandangan yang tidak baik. Meski penertiban busana cukup terlambat, tetapi usaha itu lebih baik daripada tidak melakukan sama sekali. (*)
Anne Avantie
Penulis adalah Desainer dan Entreprenews